
Clickinfo.co.id – Di tengah hiruk pikuk industri dan polemik yang sesekali mencuat, Sugar Group Companies (SGC), produsen gula terkemuka di Indonesia, menegaskan posisinya sebagai mitra strategis dalam pembangunan ekonomi, ekologi, dan sumber daya manusia.
Perusahaan yang telah beroperasi sejak 1983 ini, melalui operasinya di Lampung, telah memberikan kontribusi holistik yang patut diapresiasi secara proporsional.
Bustami Zainudin, Anggota Komite II DPD RI, dalam perspektifnya menyoroti peran SGC yang melampaui sekadar produksi gula.
"SGC telah menjadi simfoni integrasi yang menyatukan ekonomi, ekologi, dan manusia dalam satu napas pembangunan," ujarnya, Senin, 21 Juli 2025.
SGC bukan hanya sebuah pabrik, melainkan jantung penggerak ekonomi kerakyatan di Lampung.
Dengan empat pabrik terintegrasi, termasuk PT Gula Putih Mataram dan PT Sweet Indolampung, perusahaan ini telah menyerap puluhan ribu tenaga kerja langsung.
Angka ini belum termasuk ribuan pekerja di sektor pendukung seperti transportasi dan UMKM.
Riset Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2011 menunjukkan bahwa lebih dari 97% masyarakat sekitar menyatakan program CSR SGC meningkatkan kesejahteraan mereka, membuka lapangan kerja, dan memicu jiwa kewirausahaan.
SGC juga membangun ekosistem berkelanjutan dengan memberikan upah kompetitif dan menyediakan fasilitas pendidikan bagi anak karyawan.
Pemasok 35% Gula Nasional
SGC memainkan peran krusial dalam menjaga kedaulatan pangan nasional.
Saat impor gula kerap mengancam stabilitas, SGC berkontribusi sebagai pemasok 35% gula nasional, setara dengan konsumsi 100 juta orang Indonesia.
Pada tahun 2002, SGC meluncurkan GULAKU, merek gula kemasan pertama di Indonesia yang memadukan kualitas SNI, sertifikasi halal, dan keterjangkauan.
Inovasi ini bukan hanya berorientasi bisnis, tetapi juga merupakan komitmen untuk menjaga ketersediaan gula bagi masyarakat, sekaligus menghemat devisa negara melalui substitusi impor.
Konsep Zero Waste Sejak Dini
Langkah SGC dalam keberlanjutan lingkungan jauh mendahului tren global. Mereka telah memelopori prinsip zero waste selama 20 tahun, bahkan sebelum konsep SDGs (Sustainable Development Goals) populer.
SGC mengkonversi 100% produk sampingan tebu menjadi energi terbarukan dan pupuk penyubur tanah.
Selain itu, PT Indolampung Distillery mengolah molase menjadi bioetanol bernilai tambah tinggi. Model ini diakui oleh akademisi dan praktisi lingkungan sebagai blueprint industri berkelanjutan yang efisien.
SGC memahami bahwa kemajuan industri harus sejalan dengan kemajuan manusia. Hal ini tercermin dari berbagai inisiatif kemitraan yang mereka bangun:
Pendidikan Vokasi: Menyediakan sekolah dari TK hingga SMK bagi anak karyawan, serta menjalin kolaborasi dengan ITERA untuk program magang dan riset.
Pelestarian Budaya: Dukungan dari Vice President SGC, Purwanti Lee, terhadap situs purbakala Las SengoQ di Tulang Bawang, sebagai upaya merawat warisan Nughik yang mencerminkan "relasi manusia-alam".
Dalam konteks ini, SGC tidak hadir sebagai entitas terpisah, melainkan sebagai bagian integral dari masyarakat Lampung.
Transparansi dan Harapan ke Depan
Sebagai entitas sebesar SGC, menghadapi tantangan adalah hal yang wajar.
Kasus hukum terkini menjadi ujian integritas sistem, namun tidak menghentikan kontribusi perusahaan.
Publik menanti penyelesaian proses hukum secara adil dan terbuka, serta sinergi multipihak (pemerintah, DPRD, korporasi) untuk menyelesaikan isu lahan secara win-win solution.
Dukungan DPRD Lampung untuk pengukuran ulang HGU dianggap sebagai langkah progresif dalam menata kepastian hukum.
Pada akhirnya, gula SGC bukan hanya tentang produk di meja makan. Ini adalah tentang harapan puluhan ribu keluarga, inovasi yang menyuburkan bumi, dan ketahanan bangsa yang tak boleh rapuh.
Kontribusi SGC selama 42 tahun adalah dasar kokoh untuk terus dibangun, dengan ruang untuk koreksi konstruktif demi peningkatan tata kelola, dan kolaborasi untuk masa depan gula Indonesia yang berdaulat.
Comments (0)
There are no comments yet