
Clickinfo.co.id - Konflik yang terjadi di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Lampung Barat, bukan hal baru.
Sudah lebih dari tiga dekade, masyarakat lokal yang mendiami kawasan itu hidup dalam ketidakpastian, karena pemerintah menjadikan wilayah tersebut sebagai kawasan konservasi yang tidak boleh lagi dihuni ataupun dikelola oleh warga.
Padahal, banyak dari mereka telah bermukim jauh sebelum status konservasi itu ditetapkan.
Ketegangan muncul bukan hanya karena perbedaan tafsir soal fungsi lahan, tetapi karena pendekatan negara yang cenderung eksklusif dan represif. Pendekatan ini tidak mempertimbangkan realitas sosial dan sejarah komunitas setempat.
Kemiskinan menjadi bagian tak terpisahkan dari konflik ini.
Masyarakat yang kehilangan lahan tak hanya kehilangan sumber penghasilan, tapi juga identitas dan hak dasar untuk hidup layak.
Kebijakan konservasi yang tidak inklusif memperparah ketimpangan sosial di sekitar kawasan hutan.
Namun, kita tidak harus memilih antara hutan atau manusia. Keduanya bisa berjalan berdampingan.
Salah satu solusi konkret adalah penerapan model desa konservasi.
Dalam model ini, masyarakat tetap tinggal dan mengelola kawasan hutan dengan prinsip-prinsip lestari, berbasis pengetahuan lokal. Negara memberikan kepercayaan, insentif, dan perlindungan hukum bagi mereka.
Jika dijalankan dengan baik, desa konservasi dapat menjadi contoh keberhasilan konservasi yang berkeadilan.
Masyarakat menjadi penjaga hutan, bukan musuhnya. Negara pun tidak perlu lagi mengeluarkan biaya besar untuk penertiban yang kontraproduktif.
Konflik di TNBBS harus menjadi pelajaran penting bagi kita semua, khususnya pemerintah daerah. Konservasi yang sukses bukan soal larangan dan pengusiran, tapi soal pelibatan dan kepercayaan.
Saatnya kita membangun keharmonisan antara hutan dan manusia, antara negara dan warganya.
Oleh: Junaidi Ismail
Koordinator Poros Wartawan Lampung. Aktif dalam isu lingkungan dan keadilan sosial di wilayah Sumatera
Comments (0)
There are no comments yet