Mengingat Hari TBC Dunia Sang Pembunuh 34 Juta Mimpi

Mengingat Hari TBC Dunia Sang Pembunuh 34 Juta Mimpi
Ket Gambar : Ist

Clickinfo.co.id - Tulisan ini bukan sebuah penjelasan akademis secara komprehensif tentang penyakit tertentu tapi sebuah narasi opini tentang bagaimana seekor monster ganas yang besarnya tidak lebih dari 4 mikrometer tapi sukses menjadi predator murni yang terus menghantui perjalanan terjal Indonesia menjadi negara maju. 

Sebuah predator yang bergerak dalam gelap jauh dari sinar matahari, manifestasi dari ketakutan manusia secara kolektif, sang pembunuh mimpi, sang monster yang dilupakan bernama Tuberculosis.

24 Maret dirayakan sebagai hari Tuberculosis (TBC) sedunia sebagai upaya untuk menyadarkan dan juga mengajak memerangi penyakit menular yang telah merenggut banyak mimpi di seluruh belahan dunia. TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. 

Dalam perjalanan sejarah umat manusia terdapat 2 penyakit yang tumbuh bersamaan dengan urbanisasi dan kepadatan penduduk, yaitu kolera dan TBC. Hal ini berhubungan dengan sumber penularan adalah pasien tuberkulosis Basil Tahan Asam positif (BTA positif) melalui percik dahak yang dikeluarkan pasiennya. 

Berdasarkan WHO tahun 2017 diperkirakan di dunia terdapat 10 juta orang (kisaran 9-11,1 juta) setara 133 orang per 100.000 populasi terkena penyakit tuberkulosis yang terdiri dari 5,8 juta pria, 3,2 juta Wanita, 1 juta anak merupakan pasien penyakit ini. 

Secara global pada tahun 2022, tuberkulosis (TBC) menyebabkan sekitar 1,30 juta kematian. Dengan pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO, 85% kasus TBC dapat disembuhkan. Jumlah orang yang baru didiagnosis menderita TBC secara global pada tahun 2022 mencapai 7,5 juta. 

Tiga puluh negara dengan beban TBC tinggi menyumbang 87% dari total kasus TBC dunia pada tahun tersebut, dengan dua pertiga dari kasus global terjadi di delapan negara: India (27%), Indonesia (10%), Cina (7,1%), Filipina (7,0%), Pakistan (5,7%), Nigeria (4,5%), Bangladesh (3,6%), dan Republik Demokratik Kongo (3,0%). Pada tahun 2022, 55% pasien TBC adalah laki-laki, 33% perempuan, dan 12% adalah anak-anak (usia 0–14 tahun).

Di tahun yang sama tuberkolosis di Indonesia mencapai 425.089 kasus. Di Jawa Barat sendiri terdapat 91.368 kasus pada tahun tahun 2022 menjadikannya provinsi dengan kasus TBC ketiga tertinggi di Indonesia. Serta, menyumbangkan angka sebesar 44% dari jumlah kasus TBC di Indonesia. 

Tingginya kasus positif TBC di Jawa Barat juga karena provinsi Jawa barat adalah salah satu provinsi terpadat di Indonesia. Dalam penelitian yang ditulis oleh Damayanti et al pada tahun 2024 terdapat 3 kabupaten dengan prevalensi TBC tertinggi di Jawa Barat yaitu Cimahi, Purwakarta, dan juga Karawang. 

Ketiga kabupaten tersebut adalah kabupaten dengan Tingkat kepadatan penduduk tinggi dengan industri sebagai wajah dari Indonesia dan memiliki faktor risiko lain seperti minimnya literasi tentang TBC, Kondisi lingkungan fisik rumah sebagian besar penduduknya tidak memenuhi syarat kesehatan. Selain itu, penduduk di wilayah Kabupaten Karawang juga terpantau minim pengetahuan dan informasi mengenai penyebaran penyakit tuberkulosis yang tampak pada penderita tuberkulosis yang berinteraksi dengan warga lain tanpa mengenakan masker.

Setelah mengetahui prevalensi atau seberapa umum penyakit itu di suatu daerah secara epidemiologi yang kita ketahui maka kenapa penulis mengatakan ini mengancam 34 juta mimpi? Apakah ini sebuah glorifikasi sebagaimana seorang politisi mencari simpati? Tentu tidak Jawa Barat memiliki populasi kurang lebih 34 juta jiwa dan mereka semua sangat rentan untuk terserang TBC karena mudahnya penyakit ini menular. Maka  kenapa ini dianggap mengancam 34 juta mimpi tersebut untuk menjawab sebuah riddle singkat ini  tersebut mari kita melihat bagaimana pengobatan ini.

Pengobatan TBC adalah salah satu penyakit dengan regimen pengobatan terlama karena memakan waktu sekurangnya 6 bulan dalam prosesnya terdiri atas 2 fase intensif selama 2 bulan dan fase lanjutan 4 bulan. Pengobatan tuberkulosis (TB) membutuhkan waktu yang relatif lama, biasanya berkisar antara 6 hingga 9 bulan. 

Pasien TB diberikan obat anti-tuberkulosis (OAT) yang terbagi menjadi beberapa lini. OAT lini pertama terdiri dari beberapa jenis obat, yaitu Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E), dan Streptomisin (S) sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2016. Lama pengobatan OAT ini bertujuan untuk membunuh bakteri tuberkulosis yang bersifat dorman atau persister yang apabila tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan terjadinya kekambuhan pada pasien tuberkulosis.

Lama pengobatan ini menunjukan adanya potensi kehilangan ekonomi yang terjadi pada pasien khususnya terjadi pada pasien usia produktif. Dalam buku Essentials of Pharmacoeconomics Health Economics and Outcomes Research pengeluaran dari sebuah penyakit sekurang-kurangnya terbagi atas direct medical cost atau biaya medis langsung, direct non medical cost atau biaya non medis langsung, indirect cost atau biaya tidak langsung, dan intangible cost atau biaya yang tidak bisa diukur. 

Biaya medis langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan medis yang diterima seperti biaya pengobatannya, biaya diagnosis, visit dokter, dan kebutuhan yang berhubungan langsung dalam proses pengobatan, biaya medis tidak langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan keluarga seperti membeli minyak untuk kendaraan, biaya transportasi, dan biaya-biaya yang bukan untuk keperluan pengobatan. 

Biaya tidak langsung adalah biaya yang dihitung karena hilangnya produktivitas seseorang seperti tidaknya pasien mendapat pekerjaan, tidak mendapat penghasilan, dan lain sebagainya. Serta yang terakhir adalah intangible cost yang merupakan biaya yang tidak bisa dihitung seperti depresi, kecemasan, dan rasa sakit.

Setelah mengetahui kerugian apa saja yang didapatkan saat seseorang sakit, mari kita kembali ke topik bahasan utama kita yaitu tuberkulosis. Dalam studi yang dilakukan oleh Iswari, Annisa et al pada tahun 2020 memproyeksikan direct cost medis menghabiskan Rp 30.956.248 ± 77.050 sampai pasien sembuh dengan proyeksi pasien akan sembuh 6 bulan terapinya, tidak untuk kasus khusus seperti alergi antibiotik, antibiotik-resisten, ataupun kegagalan. Untuk biaya total terapinya diprediksi US$1,870.08 yang jika kita bandingkan dengan negara tetangga pasien TBC di Malaysia harus mengeluarkan uang sekitar US$727.25 untuk perawatannya. 

Pada titik ini kita hanya berbicara tentang pengeluaran yang dilakukan untuk pengobatan TBC, perlu kita ingat kembali bahwa masih ada Direct non-medis, Indirect cost,  dan Intangible cost. Tentu bahkan sebuah lelucon soal biaya kesehatan di Amerika Serikat bahwa seseorang lebih sering jatuh bangkrut karena biaya pengobatan daripada krisis ekonomi.

Dengan prediksi rata-rata mencapai kesembuhan adalah 290 kali kunjungan maka kita bisa menghitung berapa cost yang dikeluarkan Biaya Non Medis Langsung Rp 7.547.000 ± 31.247, dan untuk potential economy lost diangkat Rp 62.669.046 ± 75.670. Dalam studi ini sekurang-kurangnya kerugian yang dirasakan satu pasien yang menderita TBC adalah 101.172.294 ± 128.453 per-orang. 

Seperti yang dibahas pada paragraf sebelumnya terdapat 425.089 kasus pasien TBC yang mampu terdata oleh pemerintah dan sangat jelas bahwa masih banyak orang Indonesia khususnya di Jawa Barat yang belum terdeteksi untuk penyakit ini. Jika kita anggap semua pasien terobati dengan cara normal selama 6 bulan maka negara sudah rugi 43 triliun dan lebih dari itu.

Yang jika kerugian tersebut diubah menjadi APBN kita sudah bisa membangun 1 IKN lagi di Papua ataupun membiayai APBN pendidikan nasional selama 100 tahun. 

Kerugian fantastis ini bukan hanya menyadarkan kita seberapa pentingnya kita harus melawan penyakit ini tapi juga kita menyadari bahwa kerugian yang kita hitung sebelumnya adalah nilai sangat minimum. Dampak psikologis yang terjadi pasca-pengobatan, butuhnya suplemen kesehatan untuk mengatasi efek samping obat TBC, dan juga tidak ada jaminan untuk seorang yang terkena TBC langsung dapat bekerja adalah banyak variabel lain yang tidak penulis masukan dalam opini singkat ini.

Saat perang saudara inggris pada abad-17 seorang penulis menuliskan sebuah buku yang getarnya masih terasa sampai dengan sekarang berjudul Leviathan karya Thomas Hobes. Buku ini menjadi daftar hitam dari Tahta Suci Vatikan, bahkan dianggap anti-christ oleh gereja Lutheran. 

Hal ini karena penggambaran Hobes secara jelas bagaimana situasi negara tanpa adanya supremasi hukum. Jalan keluarnya adalah sebuah kontrak sosial sebuah masyarakat untuk terhindar dari bahaya lain harus patuh pada satu aturan yang ditetapkan oleh satu kekuatan yaitu sang leviathan. 

Tapi kita tidak perlu tunduk pada pangeran neraka untuk mengalahkan pembunuh tuberkulosis ini tapi seperti yang sudah dibahas dalam esai sebelumnya masyarakat harus mempercayai dan patuh pada suatu kekuatan yang bisa mengalahkan bahaya lainnya dan jawabannya adalah apoteker.

Optimalisasi peran seorang apoteker dalam menghadapi tuberkulosis adalah sebuah keniscayaan. Hal ini tidak terlepas dari seorang apoteker yang memiliki kompetensi dalam menghadapi sebuah pandemi karena memiliki kemampuan dalam mengatur farmakoekonomi ataupun pemahaman seorang apoteker dalam melihat sebuah pandemi mampu mendorong seorang apoteker untuk mengambil keputusan berbasis pada faktor risiko. 

Dalam negara paripurna yang digambarkan oleh seorang plato sebuah negara ideal adalah ketika polish atau negara dipimpin seseorang politea atau ahli yang menggunakan nalar kritisnya dalam mengambil keputusan. Optimalisasi peran apoteker seperti yang sudah dibahas penulis dalam tulisan “Apoteker di Labirin Singularitas Medis Kontemporer” akan menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Indonesia tidak pernah ditakdirkan seperti ini, tapi residu yang menyebabkan penyakit kronis dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh orang-orang tertentu melahirkan situasi buruk seperti sekarang. Sebuah pertanyaan apakah kita akan melihat pendarahan yang terjadi pada bangsa sampai kita mati sekarat atau mengambil langkah tepat dan hentikan pendarahan ini.

Oleh: Prayoga Salim dan Alvin Irawan

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment