Wartawan Harus Egaliter

Wartawan Harus Egaliter
Ket Gambar : Junaidi Ismail (Poros Wartawan Lampung). | Ist

Clickinfo.co.id - Di tengah hiruk-pikuk dunia informasi, wartawan memegang peran vital sebagai penjaga gerbang kebenaran. Mereka menjadi mata dan telinga publik, menelusuri fakta, merangkai cerita, dan menyuarakan suara yang tak terdengar. 

Namun, seiring derasnya arus digital dan masifnya tekanan dari berbagai kepentingan, satu nilai penting yang sering terlupakan oleh sebagian insan pers adalah egalitarianisme sikap memanusiakan manusia secara setara.

Menjadi egaliter bukan sekadar tidak membeda-bedakan status sosial, jabatan, atau kekayaan. Lebih dari itu, egaliter adalah sikap batin yang percaya bahwa semua manusia setara dalam hak, martabat, dan nilai kemanusiaan. 

Dalam dunia jurnalistik, sikap ini seharusnya menjelma menjadi kesadaran bahwa suara rakyat jelata sama pentingnya dengan suara pejabat, bahwa penderitaan buruh sama layaknya headline seperti pernyataan seorang menteri.

Karena berita bukan milik elite. Jurnalisme lahir dari denyut kehidupan rakyat. Wartawan bukan alat kekuasaan, bukan corong perusahaan, dan bukan sekadar pemburu klik. 

Wartawan adalah jembatan antara mereka yang tak punya suara dengan publik yang haus kebenaran. Dalam posisi ini, egaliter bukan lagi pilihan ia adalah kewajiban moral.

Saat wartawan hanya mengejar narasumber "besar", menghadiri konferensi pers mewah, dan melupakan suara-suara kecil di sudut pasar, di lorong kampung, atau di sawah yang tergenang, maka jurnalisme kehilangan jiwanya. Ketika media hanya bicara tentang siapa yang paling berkuasa, kita lupa siapa yang paling terdampak.

Menjadi egaliter bukan berarti mengabaikan berita politik, ekonomi, atau hukum dari tokoh nasional. Tetapi berarti mengimbangi narasi itu dengan suara-suara dari pinggiran. 

Wartawan yang egaliter akan mencari narasumber bukan hanya karena jabatannya, tapi karena perspektifnya. Ia akan menyapa pengungsi di tenda darurat dengan rasa hormat yang sama seperti saat mewawancarai seorang gubernur.

Sikap egaliter juga penting di ruang redaksi. Wartawan senior harus merawat dan membimbing wartawan muda tanpa merasa lebih tinggi. Pemimpin redaksi harus mengayomi, bukan mendikte. Sesama wartawan harus saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Ketika wartawan sendiri tidak egaliter terhadap rekan sekerja, bagaimana bisa ia menulis dengan keadilan sosial?

Di era disrupsi digital ini, ketika kepercayaan publik pada media terus tergerus, egaliterisme bisa menjadi salah satu obatnya. Publik akan percaya pada media yang memihak kebenaran, yang hadir di tengah rakyat, yang tidak berpihak pada pemilik modal semata.

Egaliter membuat wartawan peka terhadap ketimpangan, tanggap pada ketidakadilan, dan jujur dalam memberitakan. Ia adalah cermin integritas. Wartawan yang egaliter tidak akan menulis karena amplop, tidak akan menghapus fakta karena tekanan, dan tidak akan menipu publik demi kenyamanan pribadi.

Kita harus kembali pada akar. Wartawan sejati adalah mereka yang membumi, yang tidak hanya menulis dari balik meja, tapi turun ke lapangan. Yang tidak hanya paham teori jurnalistik, tapi juga menghidupi nilai-nilai kemanusiaan. Yang tidak takut duduk di warung kopi bersama rakyat biasa, karena di sanalah seringkali berita terbaik bermula.

Egaliter bukan tentang gaya hidup. Ia tentang cara pandang. Tentang bagaimana wartawan menempatkan diri bukan di atas, tapi sejajar dengan masyarakat. Tentang keberanian untuk berkata, "Aku wartawan, dan tugasku adalah mendengarkan semua suara, tanpa kecuali."

Wartawan boleh pandai menulis, cepat mengabarkan, dan mahir mengolah data. Tapi tanpa hati yang egaliter, semua itu hanya menjadikan jurnalistik sebagai industri informasi, bukan panggilan nurani.

Saatnya wartawan Indonesia menghidupkan kembali semangat egaliter menjadi mata yang adil, telinga yang peka, dan suara yang jujur untuk semua golongan, tanpa membedakan siapa mereka, dari mana asal mereka, atau berapa harta yang mereka punya.

Karena sejatinya, wartawan bukan hanya penyampai kabar—mereka adalah pengawal nilai-nilai kemanusiaan. 

 

Oleh: Junaidi Ismail 

(Poros Wartawan Lampung)

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment