
Clickinfo.co.id, BANDARLAMPUNG - Sidang Pembaca, belum lama sekira dua bulan lalu, Derri Nugraha, Ketua Dewan Pengurus Serikat Pekerja Media (SPM) Lampung, menguak fakta kerentanan pekerja media di Lampung.
Derri menyebut, pelbagai bayang persoalan masih terus menghantui wartawan, jurnalis, pekerja media massa di Lampung dalam menjalankan kegiatan profesi jurnalistik.
"Banyak pekerja media massa di Lampung, belum sepenuhnya mendapat hak dasarnya sebagai pekerja," lugas Derri, menyebut studi kasus kerentanan lainnya mulai dari sadisme pemotongan upah/gaji, "teganya oh teganya" alokasi besaran gaji di bawah Upah Minimum, cenayang PHK sepihak, tak adanya cuti hamil bagi jurnalis perempuan, beban kerja ganda, hingga kekerasan!
Berangkat dari hal tersebut, Derri bersama 13 sejawat jurnalis di Lampung, secara telak sepakat membentuk wadah SPM Lampung pada 3 Mei 2023, bertepatan momen raya Hari Kebebasan Pers Sedunia, yang telah dideklarasikan disekaliguskan dengan taja diskusi Rentannya Nasib Pekerja Media dan Pentingnya Berserikat, di Kafe Teman Kopi, Way Halim, Bandarlampung, 5 Mei 2023.
Selanjutnya, SPM Lampung resmi tercatat di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Bandarlampung. "Dengan Nomor Bukti Pencatatan 568/07/III.06/05/VI/2023 pada 27 Juni 2023," terang Derri, berharap semakin banyak lagi jurnalis/pekerja media bergabung.
Derri Nugraha, yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung ini menuturkan, SPM Lampung dibentuk sebagai ujud respons terhadap kerentanan pekerja media massa di Lampung.
"Banyak pekerja media massa di Lampung, belum sepenuhnya mendapat hak dasar sebagai pekerja,” keterangan resmi Derri disitat dari situs AJI Indonesia, 17 Juli 2023.
Nantinya, tegas dia, SPM Lampung dapat mengawal persoalan ketenagakerjaan dan memperjuangkan perlindungan hak-hak normatif pekerja media massa sebagai bagian dari rakyat kelas pekerja, seperti hak atas upah yang adil, jam kerja yang wajar, dan kondisi kerja yang aman dan sehat.
SPM Lampung merujuk riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung 2021, memotret kondisi jurnalis perempuan di Lampung: 10 dari 30 jurnalis perempuan di Lampung menerima upah Rp1 juta-Rp2,3 juta, satu jurnalis perempuan mendapat upah kurang dari Rp1 juta/bulan, sekitar 37,9 persen jurnalis perempuan di Lampung menerima upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung 2021 Rp2.432.001, sebanyak 2 dari 30 jurnalis perempuan pernah alami pemotongan upah, banyak dari mereka belum mendapatkan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan dan ada yang mengaku tak dapat cuti hamil.
Geser mundur tahun sebelum, pada 2020, AJI Bandarlampung juga menerima laporan, beberapa perusahaan media melakukan efisiensi imbas pandemi COVID-19, seperti memangkas jumlah karyawan, memotong tunjangan makan dan transport, memotong upah jurnalis, sejumlah perusahaan pers dilaporkan menunda pembayaran upah.
“Maka, berserikat merupakan keniscayaan bagi seorang pekerja. Melalui serikat, pekerja bisa saling bersolidaritas dan mendukung ketika ada perlakuan tak adil dari perusahaan tempatnya bekerja. Selain itu, serikat juga bisa menjadi wadah untuk mengembangkan kapasitas,” sorong Derri.
Ada pun terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Kadisnaker) Kota Bandarlampung M. Yudhi menegaskan, pekerja tak perlu takut untuk berserikat!
"Membentuk serikat merupakan kebebasan setiap pekerja yang diatur Undang-Undang 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Itu untuk menciptakan hubungan industrial yang aman, harmonis, dinamis, berkelanjutan, seimbang dan berkeadilan,” ujar eks Kadis Pariwisata Kota ini, mengimbau buruh/pekerja bergabung dalam serikat sebagai wadah perjuangan buruh/pekerja guna memastikan hak dasarnya terpenuhi.
Pengingat sebelumnya, Derri saat diskusi Teman Kopi 5 Mei 2023 merujuk sepakatnya ke-13 jurnalis perintis pembentukan SPM Lampung, semata merespons keresahan jurnalis terhadap kian memprihatinkannya kondisi pekerja media. "Dengan berserikat kawan-kawan pekerja media bisa bersama-sama memperjuangkan haknya,” asa dia.
Bilang dia dkk tengah berjibaku kelarkan AD/ART-nya, Derri bilang juga keanggotaan SPM Lampung terbuka untuk semua pekerja industri media massa. "Kartunis berita, kolumnis, pengecek fakta, desainer infografis berita, kurator berita, periset berita, penulis lepas, editor video, penyiar radio, news anchor, redaktur, kamerawan," dia sebut awak pekerja industri media massa yang diajaknya bergabung.
Usut punya usut, situasi riil dari sedikitnya 74 serikat pekerja media massa berskala nasional, yang tergolong aktif cuma 20.
Ketua AJI Bandarlampung, Dian Wahyu Kusuma, narasumber pemantik, membeber tantangan pembentukan dan partisipasi serikat pekerja media massa, salah satunya ya intervensi perusahaan pers. “Kadang teman-teman jurnalis pengen berserikat tapi (dari) perusahaan gak boleh,” kuaknya.
Disitat dari reportase jurnalis RMOLLampung, Tuti Nur Khomariah, Direktur Dian menyorot bagaimana perusahaan pers alami krisis keuangan imbas peristiwa global seperti pandemi dan konflik militer Rusia-Ukraina, memaksa perusahaan ber-efisiensi, salah satunya melalui "jagal" PHK dan upaya lain menekan pengeluaran. Upah di bawah Upah Minimum, jam kerja tak jelas, dan hari libur yang tipis, jadi misal lain derita jurnalis.
Menghadapi problem ini, AJI menginisiasi membentuk serikat pekerja bagi jurnalis lintas media massa di Lampung. "Kenapa, sebab serikat pekerja jurnalis selama ini kurang bertumbuh dibandingkan jumlah perusahaan media. Bahkan, di Lampung belum ada serikat pekerja jurnalis," ujar Dian miris.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung, Sumaindra Jarwadi, narasumber lainnya, prihatin!
Kondisi kerja jurnalis saat ini, nilai dia, kerap tak ada kejelasan kepastian statusnya. "Misal, permasalahan kontributor media yang bekerja tanpa adanya perlindungan dan jaminan kerja jelas. Undang-Undang Cipta Kerja, juga semakin memperlemah tenaga kerja di media. Kami juga mengadvokasi jurnalis yang di-PHK dan tak terima pesangon yang layak.
LBH, mendorong jurnalis gabung serikat pekerja, meski realitanya perusahaan kerap berupaya melakukan union busting alias pelemahan serikat kerja.
“Teman-teman jurnalis mau jam kerjanya gak jelas? Mau di-PHK gak dapet pesangon? Mau kerja tanpa status yang jelas? Mau, gak dapet BPJS Ketenagakerjaan?” Sumaindra bunyikan "alarm" tanda bahaya.
Dalam diskusi, Direktur LBH Pers Lampung, Chandra Bangkit ikut bunyikan alarm lain, dengan menegaskan, jurnalis tetap lah buruh!
Meski pun, sergah dia, banyak jurnalis yang notabene tidak merasa bahwa dirinya jadi buruh. Chandra menginjeksi, jurnalis harus mengedukasi diri ihwal status kerjanya.
“Kawan-kawan itu (buruh) yang diupah perusahaan, maka kawan-kawan tunduk pada UU Ketenagakerjaan,” pengingatnya.
Chandra juga mempertanyakan minimnya laporan jurnalis yang diterima oleh Posko Pengaduan Pekerja, meski realitasnya banyak hak-hak jurnalis yang dilanggar. “Saya belum pernah menemukan (misal) laporan kawan-kawan jurnalis gak dibayar THR-nya, ini jurnalis yang bisa jawab,” ujar Chandra.
Pengurus Divisi Pengembangan Organisasi dan Advokasi, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Lampung, Leni Marlina, usai berkisah pengalaman pribadi tak dapatkan cuti bersalin sesuai aturan, juga menguak upah/gaji jurnalis perempuan di Lampung yang dinilainya tak layak.
“Jurnalis butuh berserikat tetapi banyak larangan dari perusahaan. Kesadaran berserikat kalangan jurnalis perempuan juga (masih) rendah. Jurnalis perempuan rentan dilecehkan narasumber saat sedang bekerja. Ini juga harus diperjuangkan oleh serikat pekerja," beber Leni Marlina.
Sementara sisi lain, berbicara dari Jakarta awal tahun ini, pengacara publik LBH Pers, Mulya Sarmono, pada 11 Januari 2023 lalu menguak data sepanjang 2022, setidaknya 51 kasus kekerasan terhadap pers, dengan mayoritas korban adalah jurnalis (35 kasus), media (tujuh kasus), lainnya pers kampus, narasumber, jurnalis kampus, dan aktivis pers, dengan jumlah korban kekerasan terkait kerja jurnalistik mencapai 113 korban.
Seperti dilaporkan jurnalis VoA Indonesia, Sasmito Madrim, Mulya merincikan, kasus kekerasan terbanyak terjadi di Jakarta (sembilan kasus), disusul Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Timur masing-masing empat kasus.
"Polisi (masih) menjadi aktor utama dalam serangan-serangan terhadap pers dengan sembilan kasus dan mahasiswa tujuh kasus. Adapun lainnya hampir merata mulai dari pengusaha, kepala daerah, preman, hingga pejabat publik," ungkap Mulya.
Menilik jenis kekerasannya, intimidasi dan penganiayaan mendominasi kasus 2022. Lainnya, perampasan alat kerja, serangan siber, kriminalisasi dan teror.
"Jurnalis dalam melakukan kerja, ancaman paling tinggi pada isu kebijakan, kekerasan, seksual, dan kriminal," imbuh Mulya.
LBH Pers juga menyoroti keamanan jurnalis dan pekerja media massa dari sisi ekonomi sepanjang 2022.
LBH Pers setidaknya menerima 30 pengaduan pekerja media, dari perselisihan hak hingga PHK. "Menurut kami, UU Cipta Kerja dan aturan turunannya membuat pekerja media merugi karena besaran kompensasi PHK lebih kecil dibandingkan dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan," tutup dia.
Demi menanggapi, anggota Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengapresiasi pendataan LBH Pers itu. Ninik bilang, data kasus kekerasan terhadap pers itu menunjukkan, pers Indonesia tidak baik-baik saja. Salah satunya akibat kebijakan yang tidak pro terhadap kemerdekaan pers seperti KUHP yang disahkan DPR pada akhir 2022 lalu.
"Artinya ketika sejumlah masyarakat sipil termasuk Dewan Pers mempersoalkan 17 pasal dari sembilan klaster yang menurut kami miliki potensi besar mengkriminalisasi jurnalis pada akhirnya tetap disahkan," sesal Ninik, menyebut Dewan Pers menempuh lobi ke pemerintah dan DPR untuk memperbaiki pasal-pasal bermasalah yang bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers. Ada waktu 3 tahun sebelum KUHP diberlakukan.
Ninik juga menyoroti penegakan hukum kasus kekerasan terhadap jurnalis di kalangan aparat penegak hukum. Sejumlah kasus tersebut masih jalan tempat di kepolisian. "Minggu lalu (pekan pertama Januari 2023, red) Dewan Pers bertemu dengan Bareskrim Polri menanya tindak lanjut kasus Tempo. Sudah dua tahun, terus terang, kita tidak dapat info perkembangannya," sesal ia pula.
Sementara untuk kekerasan terhadap pers mahasiswa, Ninik bilang Dewan Pers akan bekerja sama mencegah kekerasan yang dialami pers mahasiswa, dengan pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) RI.
Pers adalah pilar keempat demokrasi. Kezaliman dalam bentuk apa pun, dengan cara bagaimana pun, sekecil mana pun, adalah kejahatan terhadap demokrasi.
Pers "dibelah", rakyat bisa marah. Pers dibelenggu, rakyat pasti terganggu. Halangi kinerja pekerja pers saja, akan berhadapan dengan bunyi pasal UU 40/1999. Apalagi menzalimi pekerja pers, bisa-bisa ... Tabik. (Muzzamil)
Comments (0)
There are no comments yet