MK Bebaskan Kritik Pemerintah dan Korporasi, Kemenangan Akal Sehat

MK Bebaskan Kritik Pemerintah dan Korporasi, Kemenangan Akal Sehat
Ket Gambar : Junaidi Ismail, Koordinator Poros Wartawan Lampung. | Ist

Clickinfo.co.id - Mahkamah Konstitusi (MK) mencatat sejarah penting bagi demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia. Dalam sidang yang dinanti-nantikan banyak pihak, MK memutuskan bahwa Pasal 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang mengatur pencemaran nama baik melalui sistem elektronik, tidak berlaku terhadap institusi pemerintah, kelompok masyarakat, maupun badan usaha, Pada 29 April 2025.

Putusan ini bukan sekadar kemenangan yuridis, melainkan kemenangan akal sehat, kemenangan rakyat biasa yang ingin bersuara, dan kemenangan demokrasi dari ancaman otoritarianisme digital.

Salah satu landasan utama dari keputusan ini adalah pengakuan MK bahwa kritik terhadap lembaga negara, institusi, maupun korporasi adalah bagian sah dari kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. Kritik bukanlah kejahatan. 

Di negara demokratis, kritik adalah oksigen yang menjaga pemerintah tetap hidup dan sadar, bukan senjata yang harus ditumpulkan dengan kriminalisasi.

Selama ini, tak jarang pasal-pasal dalam UU ITE menjadi alat represi. Kritik warga terhadap pelayanan publik, pengelolaan lingkungan, bahkan penegakan hukum, kerap dibalas dengan pelaporan pencemaran nama baik. 

Fenomena ini membuat publik takut berbicara dan memperkuat budaya diam yang sangat berbahaya bagi kesehatan demokrasi. Putusan MK ini secara tegas menghentikan praktik sewenang-wenang itu.

Mahkamah memutuskan bahwa Pasal 27A harus dimaknai secara sempit—hanya berlaku untuk pencemaran terhadap individu, bukan lembaga. Ini adalah langkah strategis untuk mencegah pasal karet menjadi alat pelumpuh kritik. Frasa “orang lain” kini ditafsirkan sebagai orang perseorangan, bukan institusi atau jabatan. Ini penegasan penting bahwa marwah jabatan tidak lebih tinggi daripada hak warga untuk menyuarakan pendapatnya.

Lebih jauh, MK juga memperketat makna frasa “suatu hal” dalam pasal tersebut, agar tak menjadi jebakan multitafsir. 

Tidak semua pernyataan yang menyinggung harus dianggap pencemaran nama baik. Yang bisa dipidana hanyalah pernyataan yang memang dengan sengaja merendahkan kehormatan pribadi seseorang. Batas ini penting agar hukum tak kehilangan arah dan menjadi alat balas dendam.

Tak hanya bicara soal lembaga, MK juga menyoroti pentingnya melindungi profesi seperti jurnalis, peneliti, dan aparat penegak hukum dari jerat pasal-pasal karet. Dengan tetap mempertahankan unsur “tanpa hak” dalam Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2), MK memastikan bahwa orang-orang yang menjalankan tugasnya secara sah tidak dikriminalisasi hanya karena hasil kerjanya menyingkap kebenaran yang pahit. 

Ini bentuk perlindungan bagi profesi yang selama ini menjadi ujung tombak transparansi dan akuntabilitas.

Adalah Daniel Frits Maurits, warga Karimunjawa, yang berani menggugat pasal-pasal ini. Dari sebuah pulau kecil di Kabupaten Jepara, Daniel mengguncang panggung nasional dan menorehkan sejarah. 

Ia tidak memiliki kekuasaan, mungkin juga bukan tokoh publik. Namun suaranya mewakili jutaan orang yang selama ini bungkam karena takut. Ia membuktikan bahwa perubahan bisa datang dari mana saja, bahkan dari ujung negeri. Inilah inspirasi sejati: satu suara bisa mengubah nasib banyak orang.

Putusan MK ini adalah fondasi baru bagi keadilan digital. Di tengah dunia yang kian terhubung, ruang-ruang virtual telah menjadi panggung demokrasi. Namun tanpa perlindungan yang jelas, ruang ini bisa berubah menjadi jerat. Putusan ini memastikan bahwa hukum tidak boleh menjadi alat pembungkam, melainkan pelindung hak konstitusional warga.

Kita patut bersyukur, tetapi juga tidak boleh lengah. Penafsiran aparat penegak hukum, implementasi di lapangan, dan kesadaran publik harus terus dikawal. Putusan ini bukan akhir, melainkan awal dari perjuangan untuk memastikan bahwa Indonesia benar-benar menjadi rumah yang aman bagi kebebasan berpendapat.

Kritik adalah tanda cinta. Dan putusan ini, adalah bukti bahwa cinta pada negeri bisa menang melawan ketakutan.

Oleh: Junaidi Ismail 
Koordinator Poros Wartawan Lampung

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment