
Clickinfo.co.id - Dipinggir kota Jakarta seorang pemuda Minang yang sudah mengelilingin dunia itu menulis dalam gelap, bukan menyusun pemberontakan tapi menyiapkan amunisi.
Amunisi yang mungkin tidak akan pernah ia pakai seumur hidupnya tapi menjadi pisau bedah yang cukup mewah untuk mengerakkan ruang-ruang diskusi di seluruh negeri, seorang pemuda yang menjadi musuh setiap rezim, seseorang yang sosoknya dianggap legenda karena teriakannya masih lantang sekalipun jasadnya sudah didalam kubur.
Pemuda ini dikenal dengan banyak nama Ilyas Husein, Alisio Rivera, Hasan Gozali, Ossorio, dan Ong Soong Lee. Tapi sejarah mengenalnya sebagai sultan Ibrahim Datuk Tan Malaka dan setiap pihak mengenalnya dengan nama singkat "Tan Malaka".
Bung Malaka adalah seorang revolusioner 3 tahun sebelum terjadi Sumpah pemuda pada tahun 1928, Tan Malaka sudah membuat buku yang berjudul "Naar de republik Indonesia" atau menuju republik Indonesia.
Bung Malaka sudah berpikir bagaimana negara ini harusnya berdiri dan rakyat harus menentukan nasibnya sendiri.
Tapi mari kembali pada paragraf pertama pada tahun 1943 kala Tan malaka yang sudah berpindah-pindah banyak negara ini berakhir di ruang sempit menulis sebuah karya agung yang sampai hari ini masih dibaca "madilog".
Madilog bukan hanya sebuah buku wajib aktivis tapi seharusnya menjadi landasan dasar seorang aktivis untuk membedah buku itu sendiri.
Dalam sempitnya kos para mahasiswa terdapat setidaknya 1 buku yang mungkin tidak pernah selesai dibaca sampai dengan akhirnya karena Panjang dan rumitnya buku tersebut buku tersebut Bernama “madilog”.
Tapi bagaimana seyogyanya kita memandang madilog apakah hanya sebatas buku yang mengiringi dinamika mahasiswa atau menjadi landasan pokok yang wajib dipahami? Jawabannya adalah sebaliknya Madilog adalah sebuah pisau analisis yang menyerang pandangan zaman.
Saat seorang petani gagal panen bukan persembahan yang harus dia lakukan tapi bisa jadi karena pemanasan global dan rendahnya kualitas padi yang harus di teliti, saat seseorang terus miskin jangan berpikir bahwa itu cobaan Tuhan semata tapi bisa jadi karena adanya sistem kapitalisme yang menghadang upah buruh.
Tapi overglorifikasi pada Madilog juga bukan sesuatu yang bijak, serap semangatnya tapi jangan jadi bagian dari yang disebut feodal progresif. Mencoba untuk membangun Gerakan progresif tapi masih terus dengan mental feodal.
Tan Malaka bukan Rasul jadi tidak ada garansi dari Tuhan semua yang dia katakan benar, tapi satu kepastian bahwa salah satu anugrah dari Tuhan adalah melahirkan seorang pejuang visioner pada zamannya dari Rahim republic ini.
Tangan Tan mungkin hari ini ada dalam tempat sempit dibawah tanah tapi namanya tetap disebut diseluruh republik, dielukan pada ruang-ruang akademis, didebat dalam platform sosial media.
Tapi mungkin ini yang Tan inginkan saat setiap pihak terus membenturkan dirinya sampai Nation Identity terbentuk menjadi materialism murni.
Saat debat didasarkan pada nalar yang terus diasah dengan dialektika, dan tiap-tiap orang menjadi paripurna dengan Logika sebagaimana yang dia katakana “…. Bahwa dibawah bumi suaraku lebih lantang dari diatas bumi”.
Pendidikan adalah currency perubahan itu mutlak tapi Pendidikan seperti apa yang ingin dibawa? Madilog tidak pernah mendorong sampai kesana.
Setidaknya belum sampai hari ini, saat pihak menjawab bahwa tan sebagai pihak yang terlalu keras batang lehernya sampai dengan tidak mau berkompromi dengan Jepang mari kita tanyakan apakah memangnya berkompromi dengan jepang adalah Langkah yang tepat? Apakah dengan membiarkan tanah kita dicaplok pada perjanjian Linggarjati dan Renvile membuat Belanda puas? Rasanya tidak dan tidak akan pernah karena nyatanya Vietnam yang melakukan perjuangan dengan kasar saat ini menikmati negaranya dalam revolusi sempurna,
Merdeka 100% dan menjadi negara dengan indeks pertumbuhan tertinggi di ASEAN setidaknya dalam paruh paruh abad-21.
Apakah ini menandakan Tan Malaka benar karena dia sudah terus-terusan menyatakan “Merdeka 100%, revolusi Permanen” yang kata-kata itu juga yang membawanya pada dirinya yang dihabisi oleh bedil tantara Republik yang dia dirikan?
Tangan bung saat ini dingin bukan karena dia sudah mati tapi karena idenya tidak lagi menjadi sebuah nuansa baru dalam perjuangan hanya menjadi romantisasi yang disampaikan kanda pada dindanya. bukan menjadi kapak yang memotong bahan bakar revolusi.
Oleh sebabnya pencerdasan Masyarakat sudah tidak bisa lagi berhenti di ruang diskusi, tidak bisa lagi berhenti dalam meja kopi. Revolusi bukan sebuah apel yang bisa akan matang dan jatuh akan sendirinya. Revolusi adalah api yang jika tidak dipercik dan berikan bahan bakar dia tidak akan pernah terbakar.
Tan mengorbankan seluruh hidupnya untuk revolusi itu dan mari sambut tangan itu dalam bentuk mobilisasi massa jika memang masyarakat belum siap dan optimal dalam menjalankan revolusi maka dididik masayarakat untuk menjadi bagian dari revolusi itu, dan jika pemerintah yang menjadi penghalang revolusi itu maka perlawanan adalah jawabannya.
Rakyat dididik lewat pendidikan tapi pemerintah dididik lewat perlawanan. Semoga Tuhan memberkati kita semua, Semoga Tuhan memberkati Indonesia.
Oleh Prayoga Salim
Direktur Funding MI Lampung
Comments (0)
There are no comments yet