
Clickinfo.co.id - Kemandirian keuangan parpol minim hingga mahar politik Lampung merebak.
Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) Lampung yang akan digelar pada 27 November 2024, isu mahar politik kembali mencuat ke permukaan.
Praktik ini semakin mendapat sorotan dari berbagai pihak, terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komite Anti Korupsi Indonesia (Kaki) Lampung.
Ketua Umum Kaki Lampung, Lucky Nurhidayah, menyoroti minimnya kemandirian keuangan partai politik sebagai salah satu pemicu utama maraknya mahar politik dalam proses rekrutmen calon kepala daerah.
Menurutnya, ketergantungan partai politik terhadap dana eksternal menciptakan celah bagi praktik-praktik yang tidak sehat dalam politik.
"Masalah utama yang memicu adanya mahar politik adalah kemandirian keuangan partai politik yang masih sangat minim. Parpol sangat bergantung pada pendanaan dari luar, termasuk dari kompensasi dukungan kepada kandidat yang ingin maju dalam pilkada," kata Lucky, Jumat, 31 Mei 2024.
Ia menjelaskan, besarnya biaya politik dalam Pilkada yang berlangsung selama dua dekade terakhir juga turut memperburuk situasi.
Kandidat kepala daerah harus mengeluarkan biaya resmi dan tidak resmi yang sangat tinggi untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik.
Hal ini semakin membebani kandidat dan mendorong praktik mahar politik.
"Biaya politik yang tinggi selalu menjadi tantangan besar bagi para kandidat. Ini termasuk biaya kampanye, operasional, serta 'uang perahu' yang harus mereka berikan kepada partai politik.
"Kondisi ini mendorong kandidat untuk mencari dukungan finansial yang besar, dan partai politik sering kali mengambil kesempatan ini untuk mendapatkan dana melalui mahar politik," tambahnya.
Selain itu, Lucky juga menyoroti lemahnya kaderisasi di dalam partai politik.
Menurutnya, partai politik seringkali kesulitan dalam merekomendasikan kader terbaiknya untuk maju dalam Pilkada karena ketidakpopuleran dan keterbatasan modal ekonomi yang dimiliki oleh kader tersebut.
"Ketika kader terbaik partai cenderung tidak populer di masyarakat dan memiliki modal ekonomi terbatas, partai politik memilih melakukan open recruitment untuk calon kepala daerah. Proses ini, sayangnya, sering kali disertai dengan tuntutan mahar politik," ungkap Lucky.
Ia juga menyebutkan bahwa sistem ambang batas pencalonan minimal 20 persen kursi parlemen atau 25 persen perolehan suara partai turut mendorong praktik mahar politik.
Dengan sistem multi partai di Indonesia, sangat sedikit partai yang mampu memenuhi ketentuan ini secara mandiri, sehingga mereka harus membentuk koalisi.
"Partai yang tidak dominan harus berkoalisi, dan proses pembentukan koalisi ini sering kali melibatkan urusan kepemilikan modal ekonomi para kandidat. Ini membuka peluang terjadinya mahar politik," jelasnya.
Lucky juga menambahkan bahwa redupnya ideologi partai politik turut mempengaruhi praktik mahar politik.
Partai politik cenderung menjalin kerjasama atau koalisi berdasarkan kepentingan pragmatis daripada kesamaan prinsip, nilai, dan gagasan ideologis.
"Dalam pencalonan kepala daerah, sangat jarang kita melihat koalisi yang terbangun atas dasar kesamaan ideologi. Praktik koalisi yang pragmatis ini juga turut mendorong terjadinya mahar politik," pungkasnya. (Nadillah)
Comments (0)
There are no comments yet