Juniardi Sesalkan, Gindha Ansori Takuti Wartawan Bela Penguasa

Juniardi Sesalkan, Gindha Ansori Takuti Wartawan Bela Penguasa
Ket Gambar : (Clickinfo.co.id)

Clickinfo.co.id, JAKARTA - Karya jurnalistik tidak bisa dipidana, dan harus diselesaikan melalui Dewan Pers. Kesimpulan itu dasarnya adalah kesepakatan dari Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Pers yang memiliki sifat kekhususan yang sama. 

Artinya sepanjang karya pers yang dilakukan dengan kaidah jurnalistik, yang di dalamnya telah melalui proses layak berita (uu 40). Bukan media sosial (uu ite). 

Jadi jangan takuti takuti wartawan dan media dengan ancaman pidana, yang sebenarnya hanya bermaksud melindungi kepentingan atau pesanan penguasa. 

Harus bisa dipahami juga mana kepentingan private dan kepentingan publik, mana rahasia ptovate dan rahasia negara. 

Dalam pemahaman umum diketahui bahwa secara norma Pers merupakan institusi sosial dan sarana massa yang berpijak di atas nilai-nilai peradaban bangsanya. 

Dan kemerdekaan pers menjadi salah satu pilar demokrasi, sehingga konstitusi menjamin setiap warga negara mengeluarkan pikiran dan pendapat melalui media pers. 

Era kini secara umum saya katakan jaminan hukum atas kemerdekaan pers sudah jauh lebih baik. Namun memang dalam kenyataannya saat ini justru muncul berbagai tragedi yang mengurangi nilai dari independensi pers itu sendiri.

Termasuk ada pula upaya upaya menghalangi langsung dan tidak langsung baik fisik maupun verbal kepada praktisi pers. 

Koreksi Internal. 

Pers tidak profesional juga menjadi pemicu, misal ada istilah anarkisme pemberitaan yang terlihat dari bentuk-bentuk jurnalisme saat ini, seperti jurnalisme anarki, jurnalisme provokasi, jurnalisme penghujatan, jurnalisme “preman”, dan lain-lain sinisme yang tidak mengenakkan. 

Yang idealnya dengan terbukanya koridor 

kemerdekaan pers dewasa ini, tidak menyebabkan pers berada dalam euforia kebebasan pers secara berlebihan.

Kebebasan pers sebagai bagian dari HAM, tidak terlepas dari adanya tanggung jawab. Tetapi, tanggung jawab bukan suatu 

sensor preventif atau pembreidelan oleh pemerintah atau tindakan-tindakan ekstra judisial lainnya. 

Prof Edy Rifai dalam bukunya Tindak Pidana Pers, menyarankan pembatasan terhadap kebebasan pers harus ditentukan secara limitatif oleh peraturan perundang-undangan dengan ketentuan yang jelas dan tegas, salah satunya adalah pengaturan tentang tindak pidana pers dalam KUHP.

Tindak pidana pers dalam KUHP bukanlah suatu tindak pidana yang diatur dalam suatu bab tertentu, melainkan tindak pidana-

tindak pidana yang tersebar dalam beberapa pasal dalam KUHP, dalam hal mana tindak pidana tersebut dilakukan dengan menggunakan sarana pers. 

Tindak pidana-tindak pidana 

tersebut adalah sebagai berikut: Penyiaran kabar bohong (Pasal XIV dan XV UU No. 1 Tahun 1946);

Pembocoran rahasia negara dan rahasia pertahanan keamanan negara (Pasal 112 dan 113 KUHP), Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, terhadap Raja atau Kepala Negara Sahabat, dan terhadap wakil negara asing (Pasal 134, 134 bis, 137, 142, 143 dan 144 KUHP), Permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah, terhadap agama dan terhadap golongan (Pasal 154, 155, 156, 156a, dan 157 KUHP) ;Penghasutan (Pasal 160 dan 161 KUHP) Rifai Pertanggungjawaban Pidana dalam TP Pers 11

Penawaran tindak pidana (Pasal 162 dan 163 KUHP); Penghinaan terhadap penguasa atau badan umum (Pasal 207 dan 208 KUHP);

Pelanggaran kesusilaan (Pasal 282 KUHP);

Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang (Pasal 310, 311, 315 dan 316 KUHP); Pemberitahuan palsu (Pasal 310 KUHP); Penghinaan atau pencemaran nama orang mati (Pasal 320 dan 321 KUHP);

Pelanggaran ketertiban umum (Pasal 519 bis, 533 dan 535 KUHP).

Pasal pasal dalam KUHP di atas, itu yang menyebabkan terdapat pengelola penerbitan pers yang diajukan ke pengadilan. 

Pada masa Orde Baru di samping banyak wartawan yang dijatuhi pidana juga izin terbit penerbitannya dicabut. 

Tetapi, memasuki era reformasi terdapat perubahan, dimana tidak ada lagi 

pencabutan izin terbit dan wartawan tidak semuanya dikenakan pemidanaan. 

Misalnya dalam kasus Majalah TEMPO, Bambang Harimurti selaku Pemred Majalah TEMPO dibebaskan dari dakwaan, sedangkan terhadap kasus Majalah Playboy, 

Erwin Arnada selaku Pemred Majalah Playboy dijatuhi pidana.

Pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang terdapat pula kasus pengajuan wartawan ke pengadilan dengan 

dakwaan melakukan tindak pidana pers, antara lain kasus penistaan/pemitnahan melalui tulisan oleh Dar dan Bud 

(Pemimpin Redaksi dan Wartawan Tabloid Mingguan KORIDOR) terhadap saksi korban Alz dan Ind (Perkara No: 612/Pid.B/2004/PN.TK), dimana para terdakwa dijatuhi pidana, tetapi pada tingkat banding, Putusan Pengadilan Tinggi 

Tanjungkarang No. 29/Pid/2005/PT.TK. menyatakan dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima. Oleh karena terhadap 

Putusan Pengadilan Tinggi tidak dilakukan upaya hukum kasasi. 

Artinya, sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, 

penyelesaian sengketa pers dapat diselesaikan dengan tahapan misalnya, 

Hak jawab Hak jawab telah dijelaskan dalam Pasal 5 ayat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yaitu : “Pers wajib melayani Hak Jawab”. 

Dan terkait pengertian dari hak jawab telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 11 yakni : “Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan yakni: 

“Keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan”.

Sedangkan dalam Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik juga menjelaskan : “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Apabila hak-hak tersebut telah digunakan oleh pembaca atau masyarakat, maka tidak boleh lagi dilakukan tuntutan atau 

gugatan perdata terhadap pers. Sebab jika mekanisme ini dibolehkan, maka kebebasan pers akan kembali tersungkur.

Kekinian, sudah ada nota kesepahaman Polri dengan Dewan Pers, yang menyatakan kerja jurnalistik harus diselesaikan di ranah Dewan Pers. 

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo sendiri sudah mengeluarkan maklumat tidak boleh membatasi kebebasan pers dan berpendapat di muka umum, dengan catatan bukan ujaran kebencian bernada SARA.

Artinya sepanjang memenuhi kode etik jurnalistis media tidak perlu risau karena dilindungi Undang-Undang Pers dan mendapat jaminan konstitusional. 

Segela bentuk karya jurnalistik yang dipermasalahkam akan diselesaikan oleh Dewan Pers. Sedangkan yang bukan kerja jurnalistik bisa ditangani langsung oleh Polri. (Red)

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment