Demokrasi Dikebiri: DPR Dituding Berselingkuh dengan Oligarki

Demokrasi Dikebiri: DPR Dituding Berselingkuh dengan Oligarki
Ket Gambar : Mauldan Agusta Rifanda, Ketua Umum HMI Cabang Bandar Lampung. Foto: Istimewa

Clickinfo.co.id - Demokrasi dikebiri DPR dituding berselingkuh dengan oligarki.

Menjelang tahapan Pilkada 2024, publik dihadapkan pada berbagai kejadian tak terduga yang memicu keheranan dan kekhawatiran.

Salah satu peristiwa yang paling mencolok adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memicu polemik di kalangan politisi dan masyarakat luas.

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan dua putusan penting, yaitu Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024. 

Dalam putusan tersebut, MK menetapkan rincian ambang batas yang harus dipenuhi oleh partai politik atau koalisi untuk mengajukan calon kepala daerah, yaitu antara 6,5% hingga 10% sesuai dengan jumlah penduduk. 

Selain itu, MK juga menetapkan bahwa syarat usia calon kepala daerah (cakada) minimal 30 tahun saat penetapan oleh KPU.

Putusan ini menjadi sorotan karena selain memberikan peluang bagi partai-partai untuk mengusung calon mereka sendiri, keputusan ini juga sekaligus menutup harapan Kaesang Pangarep untuk maju dalam Pilkada 2024. 

Meskipun MK merupakan lembaga yang seharusnya dihormati, keputusan ini tampaknya tidak diterima begitu saja oleh beberapa pihak.

Mahkamah Konstitusi, yang dibentuk berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bertujuan memperkuat dasar-dasar konstitusional dan melindungi UUD 1945. 

Dalam perkembangan hukum ketatanegaraan modern di Indonesia, MK diharapkan berperan sebagai "the guardians of constitution," menjaga konstitusi dari pelanggaran. 

Namun, cita-cita luhur ini kini tampak terancam, dengan adanya upaya-upaya yang mengarah pada pelemahan institusi tersebut.

Saat ini, DPR tengah mencoba melawan keputusan MK dengan merancang perubahan terhadap UU Pilkada yang dinilai menguntungkan elite tertentu. Langkah ini dipandang sebagai "perselingkuhan" antara DPR dan oligarki, di mana kekuasaan seolah-olah ingin "dibeli putus" oleh sekelompok elite. 

DPR, yang seharusnya menjadi wakil rakyat dan melayani kepentingan rakyat, justru diduga lebih mengutamakan kepentingan segelintir elite partai.

Kondisi ini semakin memperburuk situasi demokrasi di Indonesia. 

Koalisi partai yang tergabung dalam fraksi-fraksi besar di DPR tampak seolah mengaminkan pengikisan demokrasi, dengan mengesahkan UU yang hanya menguntungkan koalisi mereka. 

Praktik ini tak ubahnya dengan upaya untuk mengatur kemenangan tanpa memberikan ruang bagi kompetisi yang sehat.

"Perselingkuhan" antara DPR dan oligarki ini harus dihentikan. Sebagai rakyat, kita tidak rela DPR, yang dipilih oleh kita, direbut oleh "pelakor" bernama oligarki. 

Sudah saatnya kita bersatu dan menentang segala bentuk penyalahgunaan amanat rakyat yang dijual belikan demi kepentingan pribadi.

Fenomena ini juga tercermin dalam tren melawan kotak kosong di berbagai daerah. Koalisi besar seperti KIM PLUS tampaknya ingin berjalan mulus tanpa tantangan berarti.

Namun, seharusnya semakin besar koalisi, semakin banyak pula gagasan yang ditawarkan. Dengan banyaknya gagasan, seharusnya mereka siap berkompetisi di daerah, bukan malah mengatur strategi untuk melawan kotak kosong.

Pemilih di Pilpres 2024 bisa saja memilih kandidat yang berbeda di Pilkada 2024.

Biarkan rakyat yang memutuskan, biarkan mereka memilih pemimpin berdasarkan pertarungan gagasan, bukan dipaksa memilih antara kotak kosong dan manusia. Ini adalah esensi dari demokrasi yang sejati.

Saatnya kita merapatkan barisan dan melawan segala bentuk "perselingkuhan" kekuasaan dengan oligarki. Jangan biarkan demokrasi kita dikebiri.

 

Oleh : Mauldan Agusta Rifanda

Ketua Umum HMI Cabang Bandar Lampung

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment