
Clickinfo.co.id - Profesi Apoteker telah menjadi salah satu pilar penting dalam dunia Kesehatan sejak kaisar Romawi Suci Frederick II melalui Edict of Salerno pada tahun 1241 yang memisahkan fungsi apoteker dan juga dokter.
Kejadian ini juga secara praktis merubah tantanan seorang farmasis dan juga profesi Kesehatan secara global, konsep ini berkembang dan tersebar bersamaannya dengan meluasnya pengaruh negara-negara eropa dalam abad-abad Kolonialisme di Afrika, Asia, sampai dengan benua Amerika hari ini. Apoteker hari ini adalah sebuah profesi yang diakui oleh negara Republik Indonesia yang fungsi kerjanya diatur dalam regulasi pemerintah salah satunya adalah Permenkes no 9 tahun 2017 tentang Apotek yang dinama terminology Apoteker digunakan dalam pasal 1 ayat 4 “Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker”.
Pada tahun 2023 Ikatan Apoteker Indonesia memperkirakan jumlah apoteker di Indonesia berjumlah 60.000 apoteker di Indonesia dan jika dimelihat jumlah penduduk di Indonesia ditahun yang sama terdapat 278.000.000 juta penduduk yang terdata di Badan Pusat Statistik (BPS), hal ini mengidikasikan rasio apoteker dan juga penduduk adalah 1:4633 penduduk. Jumlah ini masih cukup rendah jika dibandingkan dengan standar WHO yaitu 1 Apoteker maksimal melayani 2000 pasien yang menandakan bahwa negara Indonesia secara jelas masih kekurangan tenaga kerja profesi Apoteker.
Namun, ditengah kurangnya tenaga kerja Apoteker di Indonesia selalu menjadi pertanyaan radikal apakah “tenaga kerja Apoteker benar-benar dibutuhkan di Indonesia?”.
Dalam PP no 51 tahun 2009 menjelaskan fungsi dan peran apoteker seperti menjalankan Apotek, penyerahan, dan pelayanan obat. Bagi penulis konsep utopis ini memastikan bahwa sistem tersebut meningkatkan kualitas hidup orang banyak khususnya Ketika sistem ini berjalan dengan baik.
Tapi taukah kejanggalan dalam hal ini? Tentu jika anda seorang mahasiswa Farmasi S1 atau pelajar yang mengambil kejuruan Farmasi sudah mendengarkan konsep ataupun Sejarah diatas cukup baik. Tapi yang dijelaskan pada paragraph 1 dan 2 baik itu regulasi yang kita pakai ataupun fungsi dan peran apoteker yang kita tau sampai dengan hari ini tidak ada bedanya dengan Ketika kaisar Freedick II dari Romawi Suci mengeluarkan dekrit Salerno di tahun 1241. Sebuah aturan dan konsep yang diatur pada 784 tahun yang lalu, sebuah dekrit yang ditulis dibawah lampu penerangan lilin masih digunakan sampai dengan hari ini.
Hal ini terlihat sepele seperti apa salahnya? Memangnya kenapa? Sampai kita sadar banyak apotek yang dijalankan tanpa adanya apoteker yang berjaga disana, sampai kita sadar bahwa banyak apotek yang menghindari membayar gaji apoteker dengan alasan yang sama dengan pemerintahan Prabowo-Gibran yaitu “efesiensi”.
Penulis tertarik dengan pernyataan salah satu dosen yang mengajar di sekolah pasca-sarjana apoteker di Universitas Padjajaran di mata kuliah Regulasi Farmasi
Prof.apt. Ivan Surya Pradipta, Ph.D yang menerangkan sebuah logika sederhana yang bisa kita renungkan bersama.
Beliau berpendapat “Jika kita mengaggap apoteker adalah sebuah variabel yang bisa masuk dalam pemangkasan anggaran sebuah apotek artinya fungsi daripada Apoteker itu bukanlah sebuah poin penunjang tapi malah bisa dianggap beban”.
Poin tersebut menggunggah penulis untuk menulis sebuah opini singkat terhadap masa depan Profesi Apoteker yang saat ini menurut penulis berada dalam sebuah tahun-tahun disrupsi yang ketat.
Dunia saat ini bukanlah dunia yang sama dengan tahun-tahun sebelumya, kita mungkin sudah sangat muak jika mendengarkan sebuah peristiwa pandemi COVID-19 adalah sebuah momentum perubahan besar-besar yang terjadi di dunia. Tapi bukan hanya itu krisis energi dalam perang Russia-Ukraina, Konflik Genosida Israel, dan lain sebagainya juga mendorong adanya krisis-krisis lain yang secara jelas membuat sebuah perubahan dalam tatanan hidup Masyarakat.
Masih dalam bulan yang sama dengan opini ini ditulis AI dari China Deepseek launching dan secara jelas menghancurkan pasar saham Amerika Serikat. Khususnya memberikan pukulan telak pada saham ChatGPT yang bahkan diakui oleh CEO OpenAI Sam Altman.
Tapi poin utamanya bukan disana tapi bagaimana Profesi Apoteker berinovasi?
Seperti yang dibahas pada paragraf sebelumnya sudah
lebih dari 700 tahun yang lalu peran dan fungsi apoteker tidak banyak berubah. Masih dalam ranah pelayanan dan pembuatan obat itu sendiri. Hal ini dirasakan cukup karena pada kenyataannya profesi Apoteker memang tidak punya musuh alami seperti kasus ChatGPT tadi, tapi perlu dipahami sekali lagi.
Hanya karena tidak ada musuh/kompetitor bukan berarti tidak adanya ancaman pada profesi Apoteker. Dalam perjalanan Sejarah manusia kita mengetahui bahwa banyak pekerjaan yang kita kira tidak pernah terganting nyatanya akan tergantingkan juga. Kita sering menyebutkan bahwa mesin tik adalah sebuah instrumen yang mustahil bisa digantikan namun kenyataannya tidak satupun anak kuliah yang menggunakan mesin tik dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Tentu sangat tidak etis untuk menyamakan seseorang dengan sebuah alat yang fungsionalnya terbatas, oleh sebabnya mari kita melihat sebuah juru tulis buku di abad-abad sebelum ditemukan mesin cetak, saat terjadi revolusi Industri secara instan para juru tulis kehilangan pekerjaannya.
Disini kita belajar bahwa kompetitor terkadang lahir dari sebuah inovasi.
Pada 1997 seorang grandmaster catur kelas dunia Bernama Garry Kasparov yang dinyatakan tidak pernah kalah dalam hidupnya kalah melawan Artificial Intelligence (Ai) bernama Deep blue. Selanjutnya Pada tahun 2016 seorang juara Go dunia Lee Sedol yang merupakan juara Go dunia melawan Ai yang Bernama AlphaGo Perkembangan manusia tidak berhenti sampai disana, jika AlphaGo menggunakan konsep mechine Learning yang mempelajari database permainan Go sebelumnya untuk belajar.
Maka Ai terbaru yaitu AlphaGo Zero dikembangkan dengan tidak mengajarkan apapun soal Go dan memintanya melakukan self-learning pada permainan Go. Pada 3 hari Ai ini berjalan Alpha Go Zero berhasil mengalahkan Alpha Go dan bahkan dalam 40 hari Ai ini berjalan The Telegraph menyatakan bahwa ribuan tahun peradaban manusia dalam mengenal Go dikalahkan oleh Ai ini.
Saat ini telah banyak Elektronik Medicinal seperti hallo doc, Medscape, dan eMedicine lainnya. Seseorang bisa mengetahui obat apa yang harus diperlukan untuk swamedikasi mendapatkan obat yang baik tanpa harus bertanya langsung pada apoteker.
Pengembangan Ai memang belum begitu terintegrasi dalam dunia kefarmasian setidaknya belum menjadi sesuatu yang di normalisasi oleh Masyarakat Indonesia. Tapi sekali lagi dengan banyak contoh yang sudah dijelaskan diatas apakah seorang apoteker akan menunggu sampai pekerjaannya benar-benar terancam?
AI bukanlah sebuah ancaman bagi kehidupan manusia namun manusia yang harus terus berbenah untuk menjadi related dengan kehidupan manusia. Memang benar ada pekerjaan yang digerus oleh teknologi seperti halnya seorang juru parkir tol yang diganti dengan parkir tol otomomatis. Namun, setiap kali teknologi menghilangkan sebuah pekerjaan manusia.
Dalam waktu yang sama teknologi membuka lapangan kerja baru dengan kompetisi yang berbeda, gerbang tol otomatis membutuhkan seorang teknisi yang melakukan pemeliharaannya setiap waktu ataupun user yang mengawasi operasionalnya.
Penulis percaya Apoteker harus menggunakan helicopter view dalam menjawab tantangan zaman bukan hanya sebatas menjadi seseorang yang menjadi manajer sebuah apotek tapi juga secara aktif dalam berkolaborasi dan menjalankan sebuah apotek. Perlu diingat pekerjaan apoteker dalam bidang pelayanan sangat rentan karena Apoteker bekerja dibawah payung konstitusi, jika kelak aturan pemerintah menyatakan seorang manajer apotek tidak perlu lagi seorang apoteker.
Maka apoteker harus memiliki nilai jual untuk bernegosiasi kepada pemerintah. Apoteker harus mendorong kemajuan teknologi dalam meningkatkan efesiensi tanpa khawatir pekerjaannya akan digerus. Jika AlphaGo Zero bisa menemukan konsep permainan Go yang bahkan manusia butuh ribuan tahun untuk menemukannya, bagaiamana jika seorang apoteker bisa berkolaborasi dengan pihak pengembang AI untuk menemukan obat HIV ataupun TBC yang lebih efesien. Mungkin dengan AI kita bisa memangkas waktu research kita selama puluhan tahun terhadap obat-obatan ataupun juga menghemat anggaran riset untuk lebih efesien.
Setiap orang bisa mendapatkan akses pada buku, jurnal ataupun aplikasi Kesehatan manapun terhadap informasi tentang obat, tatalaksana pengobatan, bahkan efek samping obat tersebut. Oleh sebab itu apoteker harus mengambil sisi humanis yang ada dalam pelayanan.
Masyarakat mungkin bisa mendapatkan informasi pengobatan tapi belum tentu mereka punya keyakinan atas pengobatan tersebut. Bagi penulis sisi inilah yang bisa diambil seorang apoteker yang merupakan seorang manusia yang memiliki empati dan emosional yang tidak dimiliki oleh AI ataupun tekonologi.
Point on view lain yang perlu dilihat adalah bagaimana mendorong eksistensi seorang apotek itu sendiri. Point on view lain yang perlu dilihat adalah bagaimana mendorong eksistensi seorang apoteker itu sendiri dalam ranah publik seperti halnya dalam melawan pandemi senyap yaitu resistensi antibiotik.
Dewasa ini, resistensi antibiotik adalah masalah besar hal ini didasarkan pada ketidakpatuhan pasien yang menggunakan antibiotik pengobatan resistensi pada antibiotik telah mengakibatkan 1.27 juta orang yang meninggal karenanya, salah satu faktornya adalah putusnya para pasien TBC yang tidak menyelesaikan pengobatannya hal ini membuat ketika pasien terkena infeksi selanjutnya yang akan sulit mendapatkan pengobatannya selanjutnya.
Hal ini adalah momentum besar untuk asosiasi apoteker dalam mengambil peran besar untuk menghadapi pandemi senyap, peran apoteker tidak boleh hanya sebatas di pandemi.
Apoteker harus bisa mendapatkan eksistensi, selama ini edukasi yang dilakukan oleh apoteker secara perseorangan tentu jika kita melihat profesi lain seperti contohnya Advokat yang sangat erat dalam menggaet pihak Pers ataupun media. Apoteker harus melakukan tindakan yang kolektif kolegial dalam mengambil peran eksistensinya, apoteker tidak bisa menjadi seperti dokter yang sudah memiliki previlage sosial oleh sebab itu apoteker harus memiliki gerakan yang solid dalam menjalankannya.
Profesi apoteker harus aktif dalam ranah publik termasuk regulator, kita sering mendengarkan seorang Menteri Kesehatan dari seorang dokter ataupun seorang dokter menjadi anggota parlemen seorang Apoteker harus punya posisi jual yang tinggi dengan menjadi organisasi yang progresif dalam mengambil peran eksistensi publik dibandingkan hanya terus fokus profesionelitas yang sangat jelas sangat mudah digantikan.
Relevansi sebuah profesi tidak bisa dinilai dari manfaatnya semata karena currency dari peradaban manusia adalah manfaatnya maka profesi tersebut akan sangat rentan dengan inovasi yang menawarkan manfaat lebih besar dengan efesiensi yang lebih besar, namun harus terlihat dari sebuah karakter yang membangun kedekatan emosionalnya dan eksistensi yang absolut karena perilaku manusia selalu erat dengan pilihan irasional yang didasari oleh perasaan.
Apoteker adalah pekerjaan yang mulia tanpa ada maksud sama sekali untuk merendahkan profesi yang saat ini gelarnya sedang penulis perjuangkan. Tapi sekali lagi dunia pasca pandemi adalah tanah disrupsi yang memaksa semua pihak untuk beradabtasi untuk tetap menjadi relevan tidak ada satupun pihak yang aman dengan disrupsi ini. Semoga Tuhan menjaga kita semua, Semoga Tuhan menjaga Republik Indonesia.
Penulis: Prayoga Salim
Comments (0)
There are no comments yet