Clickinfo.co.id -- Di tengah kegaduhan kehidupan serba cepat modern ini, kita sering kali tanpa sadar menutup mata dan menjalankan peran sebagai figuran. Melihat liputan korupsi di TV, melihat tawuran pelajar di media sosial, membaca skenario intoleransi—semuanya kita lihat dari balik layar, seolah bukan bagian dari diri kita. Padahal, setiap manusia punya peran penting dalam menciptakan figur bangsa yang bermartabat. Sekarang adalah waktunya kita berhenti menjadi figuran dan mulai menjadi “the main character” dalam revitalisasi moral bangsa.
Degradasi moral bukanlah fenomena baru di Indonesia. Aksi korupsi yang terus berulang, ujaran kebencian di ranah digital, hingga menurunnya nilai kesantunan dalam kehidupan sehari-hari menjadi cermin betapa rapuhnya fondasi moral kita. Yang lebih mengkhawatirkan adalah hadirnya sikap apatis di masyarakat. Banyak yang berpikir, “Untuk apa saya peduli? Toh saya hanya rakyat biasa.” Pemikiran seperti inilah yang justru melanggengkan kemunduran moral bangsa.
Perubahan selalu dimulai dari hal-hal kecil. Saat kita memilih untuk tidak menyontek saat ujian, kita sedang menanamkan integritas. Saat kita menolak menyebarkan hoaks meskipun itu menguntungkan kita, kita sedang membangun kejujuran. Saat kita memiliki keberanian menegur teman yang melakukan perundungan, kita sedang mempraktikkan keberanian moral. Semua aksi kecil ini adalah bagian dari cerita besar perubahan bangsa.
Menjadi “the main character” bukan berarti harus menjadi pahlawan super yang menyelesaikan semua masalah sendirian. Ini tentang mengambil tanggung jawab penuh atas peran kita masing-masing. Seorang guru yang konsisten mengajarkan kejujuran adalah main character di kelasnya. Seorang pedagang yang tidak menaikkan harga sembarangan adalah main character di pasar tradisional. Seorang remaja yang menolak tawuran adalah main character di lingkungannya.
Generasi muda memiliki peran strategis dalam transformasi moral ini. Dengan akses teknologi yang luas, mereka dapat menjadi agen perubahan yang efektif. Media sosial yang sering dituding sebagai sumber masalah, justru dapat menjadi platform untuk menyebarkan nilai positif. Kampanye anti-bullying, gerakan literasi, atau sekadar konten inspiratif adalah bentuk kontribusi nyata untuk membangun ekosistem moral yang lebih baik.
Namun, perubahan moral tidak akan berlangsung tanpa dukungan sistemik. Keluarga sebagai madrasah pertama harus kembali menjalankan fungsi sebagai tempat penanaman karakter. Orang tua tidak cukup hanya menyekolahkan anak ke lembaga terbaik, tetapi juga harus menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah perlu mengintegrasikan pendidikan karakter bukan hanya dalam mata pelajaran tertentu, tetapi dalam setiap aspek pembelajaran.
Pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan moral. Penegakan hukum yang adil, kebijakan publik yang berintegritas, dan keteladanan para pemimpin menjadi fondasi penting. Ketika rakyat melihat pemimpinnya jujur dan bertanggung jawab, mereka akan terinspirasi melakukan hal yang sama.
Institusi agama berperan dalam membentuk kesadaran moral dan spiritual masyarakat. Ajaran keagamaan yang menekankan kebaikan, kejujuran, dan kepedulian sosial harus diterjemahkan dalam tindakan nyata, bukan hanya ritual formal. Tokoh agama harus berada di garis depan dalam mempromosikan persatuan dan toleransi di tengah keberagaman.
Tantangan utama dalam perubahan moral adalah konsistensi. Mudah berbuat baik sekali saat ada yang melihat, namun jauh lebih sulit mempertahankannya ketika tidak ada yang mengawasi. Di situlah karakter diuji. Perubahan moral yang sejati terjadi ketika nilai-nilai baik menjadi bagian dari diri kita, bukan sekadar topeng di tempat umum.
Kita hidup di zaman ketika siapa pun bisa menjadi influencer, bukan dengan jumlah pengikut, tetapi dengan kemampuan mempengaruhi lingkungan terdekat. Setiap keputusan, setiap kata, dan setiap tindakan memiliki efek domino. Dengan memilih berbuat baik, kita mendorong orang lain melakukan hal yang sama.
Bangsa besar dibangun oleh individu-individu yang berani mendengar suara hatinya dan mengambil peran dalam perubahan. Mereka tidak menunggu orang lain, tidak menunda, dan menyadari bahwa perubahan berawal dari diri sendiri—di sini, dan sekarang.
So, who is ready to be "the main character" of moral change bangsa? Do not wait for the dramatic moment or the great opportunity. Begin with the simple: speaking the truth even though it hurts, being fair even if nobody likes you, and caring even when it's not helpful. Because in the grand novel of Indonesia's moral change, every one of us is the main character that determines the plot. And the novel starts today, with our choices.
Penulis:
Alicia Rea Nodelsa
Mahasiswi UIN Raden Intan Lampung, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Prodi Pendidikan Matematika


Comments (0)
There are no comments yet