Kontroversi, Turbulensi Demokrasi, Hingga Dugaan kasus Kecurangan, Pada Pemilu 2024

Kontroversi, Turbulensi Demokrasi, Hingga Dugaan kasus Kecurangan, Pada Pemilu 2024
Ket Gambar : (Clickinfo.co.id)

Clickinfo.co.id, JAKARTA - Pada tahun 2024 ini kita akan dihadapkan pada tahun politik, dimana agenda suksesi legislatif dan eksekutif adalah sebuah keharusan dan hal yang wajib dilakukan. Dalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan sarana yang mengakomodir penyampain hak politik rakyat dalam menentukan pilihannya terhadap wakil rakyat, presiden, dan wakil presiden. Robert A. Dahl dalam Poliarchy, Participation, and Opposition mengatakan pemilu merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi (kontestasi) antara aktor politik untuk meraih kekuasaan, partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan, liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara. 

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum mengatakan “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia”. Terlepas dari pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mengamanatkan penekanan terhadap Aspek LUBERJURDIL (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil) dalam keberlangsungan pemilu dan hal yang wajib dijunjung tinggi oleh seluruh stakeholder pemilu demi terciptanya pemilu yang bersih dan damai. 

Mendekati pemilu kondisi perpolitikan di Indonesia kian memanas. Para politisi dan pendukung tengah bersiap-siap menjalankan strategi dan taktiknya guna pemenangan pasangan calon masing-masing. Konsep yang telah disusun dari jauh hari rasanya telah siap dieksekusi.

Gagasan, program kerja, dan Isu-isu terus di gulirkan dari antar aktor politik sampai hari ini mendekati waktunya guna mendulang suara terbanyak. Disamping itu, Pemerintah selaku pemegang komando stakeholder pemilu wajib berpegang teguh pada konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan netralitas demi terciptanya pemilu yang kondusif dan iklim demokrasi yang sehat.

Penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilhan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga tidak luput dari sorotan publik.

Bagaimana suara-suara yang muncul dari akar rumput agar mengedepankan nilai-nilai integritas dan profesionalitas dalam penyelenggaraan pemilu.

Pasca telah berlangsungnya pencoblosan pada 14 Februari 2014, pemungutan dan penghitungan suara merupakan salah satu tahapan paling krusial bagi KPU, pemilih, dan peserta Pemilu adalah pemungutan dan penghitungan suara.

Tahapan ini merupakan puncak dari proses panjang pemilu, bahkan bagi sebagian peserta pemilu merupakan malaikat maut yang menentukan hidup matinya nasib politik mereka di masa mendatang.

Profesionalitas dan integritas Pemilu dipertaruhkan pada tahapan ini. Begitupun dengan BAWASLU selaku lembaga pengawas pemilu yang tiada henti memonitor kondisi dilapangan demi terciptanya pemilu yang bersih dan damai.

 Ketika kita berbicara terkait kontestasi pemilu, tidak dapat dipungkiri bahwa fakta dilapangan terkait fenomena politik adalah sesuatu yang tidak bisa terelakkan dari keberlangsungan berjalannya pemilu.

Tak hayal, fenomena politik pun terus terjadi dari fenomena Putusan Mahkamah Konstitusi 90/PUU-xxi/2023, pernyataan Presiden RI terkait kebolehannya dalam berkampanye, guru-guru besar yang menyoroti kesehatan iklim demokrasi, bantuan sosial (Bansos) dipenghujung pemilihan umum, 20 Pj Gubernur dan 182 Pj bupati/wali kota, voting based on the heart not voting based on vote buying hingga saling klaim pemenangan paslon yang didukung.

Terlepas dari fenomena-fenomena politik diatas, penulis akan mengajak untuk melihat lebih jauh bagaimana prosesi bergulirnya pemilu dalam sudut pandang Indonesia sebagai negara hukum, ekosistem politik, dan kondisi pasca pencoblosan.

Indonesia adalah Rechstaat bukan Machstaat

Negara Kesatuan Republik Indonesia dalah negara hukum. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia telah menegaskan bahwa Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat) bukan negara kekuasaan (Machstaat).

Sebagaimana telah termaktub dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Berkaitan dengan konsep negara hukum, Prof. Bagir Manan berpendapat bahwa teori negara berdasarkan hukum secara resmi mengandung makna bahwa hukum adalah berdaulat (supreme) dan berkewajiban bagi setiap penyelenggaraan negara atau pemerintah untuk taat pada hukum (subject to the law) dan tidak ada kekuasaan diatas hukum (above the law) tetapi kekuasaan yang ada dibawah hukum (under the law).

Hal ini mempunyai arti bahwa tidak boleh ada kekuasaan sewenang-wenang (arbirity power) atau menyalahgunakan kekuasaan (misuse of power). (Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif dibidang Peraturan Penganti Undang-Undang, Tahun 2002) 

Kalau kita berkaca pada hari ini, rasa-rasanya teori yang dikatakatan Prof. Bagir manan berbanding terbalik dengan realita yang ada. Dari dimulainya prosesi pemilu hingga saat ini, pemerintah cenderung telah mengesampingkan hukum dalam hal penyelenggaraan negara.

Terlihat dari dimulainya Mahkamah Konstitusi mengabulkan Putusan Mahkamah Konstitusi 90/PUU-xxi/2023 terkait syarat minimal usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang dimana putusan ini dibuat dalam dinamika momentum pilpres 2024.

Putusan tersebut menandai dugaan terjadinya perselingkuhan rezim yang mengakomodir kepentingan anak presiden dengan ketua Mahkamah Konstitusi yang merupakan paman dari anak presiden.

Pasca putusan tersebut, hal ini menjadi perbincangan dan menuai protes dimana-mana sehingganya dibentuklah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi guna menginvestigasi dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Hakim Mahkamah Konstitusi.

Setelah melewati proses invetigasi, Prof. Jimly Ashhiddiqie selaku Ketua MKMK dalam amar putusannya memutus 9 hakim Mahkamah Konstitusi terbukti melakukan pelanggaran etik.

Yang terberat yaitu Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Anwar Usman terbukti melanggar etik berat terkait kepentingan dalam putusan Mahkamah Konstitusi soal syarat minimal usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dengan sanksi yang diberlakukan pemberhentian Prof. Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. 

Berdasarkan Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berban gsa, Bab II Pokok-Pokok Etika Kehidupan Berbangsa berbunyi “Etika Politik dan Pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antarpelaku dan antarkekuatan sosial politik serta antarkelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan.

Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.” Jikalau kita menafsirkan bunyi dari Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2001 Tentang Etika kehidupan dengan hasil Putusan Mahkamah Konstitusi 90/PUU-xxi/2023, pemerintah telah mengingkari dan mengindahkan peraturan hukum yang ada. Sudah jelas tertera diatas, bahwa untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan.

Tidak berhenti sampai disitu, pernyataan Presiden Jokowi terkait presiden boleh berkampanye dan memihak salah satu calon tertentu telah menciderai sendi-sendi demokrasi.

Bagaimana tidak, Presiden yang seharusnya menjadi corong netralitas dalam pemilu malah berbuat sebaliknya.

Presiden harus memperhatikan rambu-rambu konstitusi sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Menurut Bivitri Susanti S.H.,LL.M.

Dalam artikel Begini Ulasan Pakar Terkait Aturan Presiden Berkampanye-Berpihak, disampaikan bahwa dalam membaca Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu presiden berhak melakukan kampanye harus utuh karena terkait dengan pasal lainnya.

Ketentuan itu pada dasarnya memberi kesempatan pada presiden selaku petahana yang maju pada pemilihan presiden dan wakil presiden diperiode kedua.

Selain itu, presiden juga harus terdaftar sebagai tim kampanye resmi oleh pasangan calon yang didukungnya. 

Turun gunungnya guru-guru besar di berbagai kampus di Indonesia dalam menyoroti kesehatan iklim demokrasi tidak terlepas dari kondisi hari ini. Hilangnya netralitas pemerintah hingga dugaan penyelewengan kekuasaan menjadi faktor dalam pernyataan yang telah diberikan.

Terdapat 26 Universitas di Indonesia melalui guru besarnya telah memberikan pernyataan agar pemerintah tidak keluar dari koridor demokrasi.

Penulis melihat bahwa, fenomena ini adalah sesuatu yang organik yang telah menggugah hati guru-guru besar untuk ikut dalam penyelamatan darurat demokrasi di bumi pertiwi.

Gelombang guru-guru besar menyerukan agar Presiden Jokowi kembali menjadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan dengan tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarga.

Presiden harus bersikap netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan, bukan untuk sebagian kelompok.

Ekosistem Politik 

Fenomena-fenomena politik yang terjadi belakangan ini mendeskripsikan bahwa telah terjadi suatu turbulensi demokrasi di Indonesia.

ketidakteraturan dan ugalan-ugalannya aktor politik dan pemerintah dalam pemilu 2024 ini telah mengindahkan banyak hal dari segi penegakan hukum, etika dalam kehidupan bernegara, serta abai dengan pendidikan politik.

Pendidikan politik merupakan salah satu hal yang tidak dapat diabaikan, karena pemilu bukan hanya soal menang atau kalah tetapi juga menyoal terkait mencerdaskan kehidupan bangsa, sehatnya iklim demokrasi, mempertahankan kesatuan dan persatuan.

Kartini Kartono dalam Metodologi Riset Sosial (1996) mengatakan tujuan pendidikan politik adalah memberikan sumbangan besar bagi proses demokrasi yang semakin maju dari semua individu dan masyarakatk/struktur kemasyarakatan dengan prinsip-prinsip realitik, lebih manusiawi, dan berlandaskan hukum formal dalam menggalang komunikasi politik yang modern.

Dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur salah satu tujuan pendidikan politik yaitu “meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara kesatuan dan persatuan bangsa”.

Pendidikan Politik wajib dihadirkan oleh seluruh stakeholder pemilu dimulai dari pemerintah, penyelenggara pemilu, hingga para kontestan pemilu.

Jika kita melihat ekosistem politik Indonesia, salah satu musuh utama dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi baik nasional maupun lokal di Indonesia adalah praktek politik uang.

Istilah politik uang dimaksudkan sebagai praktek pembelian suara pemilih oleh peserta pemilu, maupun oleh tim sukses, baik yang resmi maupun tidak, biasanya sebelum pemungutan suara dilakukan. Dengan politik uang, pemilih kehilangan otonominya untuk memilih kandidat pejabat publik melalui pertimbangan rasional, seperti rekam jejak, kinerja, program maupun janji kampanye karena memilih kandidat hanya karena pemberian uang belaka.

Politik uang (money politic) adalah korupsi elektoral, bisa dikatakan seperti itu dikarenakan politik uang adalah sebuah kecurangan dalam pemilu yang hakikatnya sama dengan korupsi.

Pasal 523 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur terkait tindak pidana politik uang yang berbunyi “setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah).” Pasal 523 ayat (2) berbunyi “setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud damal pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp.48.000.000 (empat puluh delapan juta rupiah).

Pasal 523 ayat (3) yang berbunyi “setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah). 

Yang kedua yaitu bagaimana praktek penyelenggaraan negara, pembagian bantuan sosial (Bansos) yang dilakukan pemerintah dipenghujung pemilu menjadi problema berikutnya yang hadir mendekati hari-hari pencoblosan.

Bantuan yang seharusnya dibagikan pada bulan maret di majukan ke bulan januari. Berbagai spekulasi menafsirkan tujuan dimajukannya pembagian bantuan sosial terindikasi “Cawe-Cawe Politik” dalam mendulang suara.

Dengan adanya penolakan dari menteri sosial dan tidak diikut sertakannya menteri sosial yang notabene merupakan tupoksinya, hal ini menambah keyakinan bahwa telah terjadi dugaan “Politisasi Bansos”.

Ada beberapa menteri yang membagikan bantuan sosial atas nama presiden, juga bantuan sosial yang dibagikan secara tidak beraturan, dan tidak berdasarkan data dari kementerian sosial selaku kementerian terkait.

Jika fenomena ini nyata terjadi dan bukan hanya sebuah dugaan, berarti pemerintah telah mengindahkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2017 tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi “badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, larangan itu meliputi larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang dan/atau larangan bertindak sewenang-wenang”.

Dibalik penunjukan 20 Pj Gubernur dan 182 Pj bupati/wali kota dengan sebaran daftar pemilih tetap (DPT) di daerah yang dipimpin Pj terdapat 140 juta suara didalamnya.

Menurut pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari, penunjukan itu tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan penunjukan Pj dilakukan secara transparan dan terbuka.

Termasuk mendengar aspirasi pemerintah daerah dan masyarakat daerah. Karena ini melanggar MK, Komisi Informasi Pusat (KIP), dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyatakan bahwa penunjukan penjabat itu telah melakukan maladministras.

Angka DPT itu, ekuivalen dengan persentase 50 persen lebih suara pemilih. Atau syarat paslon untuk dapat memenangi pilpres satu putaran sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 

Kondisi Pasca Pencoblosan

Puncak ujian terhadap Integritas dan profesionalitas KPU dan BAWASLU terdapat pada tahapan ini. Bagaimana prosesi pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara dijelaskan secara gamblang dan komprehensif dalam Peraturan KPU No 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum. Waktu pelaksanaan, prosedur bagi pemilih untuk dapat menggunakan suara, penyiapan TPS oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), perlengkapan pemungutan suara, pembagian tugas KPPS, prosedur pelaksanaan rapat pemungutan suara, cara pemberian suara, mekanisme penghitungan suara dan penyelesaian atas keberatan, pengumuman hasil suara dan ditutup dengan penjelasan perihal pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 372 ayat (1) mengatur bahwa pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.

Selain itu, pada ayat (2) disebutkan bahwa pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan pengawas TPS terbukti terdapat keadaan :

A. Pembukaan kotak dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;

B. Petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamat, pada surat suara yang sudah digunakan;

C. Petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah, dan/atau;

D. Pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.

Selain syarat penyebab terjadinya, Undang-undang juga mengatur mengenai batas waktu pelaksanaan PSU paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pemungutan suara berdasarkan keputusan KPU Kabupaten/Kota.

Berbeda halnya dengan pasangan calon dan tim pemenangan yang saling klaim pemenangan antar paslon. Tahapan ini merupakan puncak dari proses panjang pemilu, bahkan bagi sebagian peserta pemilu merupakan malaikat maut yang menentukan hidup matinya nasib politik mereka di masa mendatang.

Rangkain panjang yang telah dilewati dari pendaftaan calon, kampanye, hingga sampai pada hari pencoblosan telah usai.

Tidak dapat dipungkiri, rasa resah dan cemas sedang menyelimuti fikiran-fikiran politisi saat ini dalam menunggu hasil rekapitulasi suara. 

Menurut kacamata sederhana penulis, kontroversi yang hadir yang memuat segala sesuatu penyalahgunaan wewenang, penyelewengan penegakkan hukum, dan kecurangan dalam pemilu adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan.

Indonesia harus kembali pada Rechstaat dalam prosesi penyelenggaraan pemilu, bukan menunjukkan machstaat dalam bentuk penyelenggaraan pemilu.

Suara ini bukan hadir dari sebagian orang tetapi telah melingkar menyuarakan agar Presiden Jokowi berhenti dari “Cawe-Cawe Politik” dan bersikap netral demi kembalinya Khittah dan marwah demokrasi di Indonesia.

 

Budaya politik yang seperti ini harus dihilangkan agar terciptanya pendidikan dan ekosistem politik yang sehat.

 

Melihat kondisi hari ini jikalau para aktor politik dan pemerintah tidak menyadari atau menyadarkan diri bukan hanya turbulensi demokrasi yang terjadi, kita harus siap bersama- sama terjun menuju darurat demokrasi. 

 

Dewasa ini, kita tidak perlu memakai kaca pembesar untuk melihat siyasah-siyasah, strategi politik dalam bentuk rahasia negara, dan kocongkakan para elit politik dalam mendikte rakyat pada proses pemilihan umum.

Para aktor politik hanya memikirkan menang atau kalah, minim gagasan, dan memperbanyak gimmick dalam berpolitik. Dalam keadaan kesejahteraan yang berada dipersimpangan jalan, beberapa aktor politik memilih jalan dengan memenangkan hati (win the heart) melalui uang-uang dan logistik yang dikirimkan, lalu ketika terpilih mereka telah merasa memenangkan fikiran (win the mind) rakyat sehingganya ketika telah sampai di senayan ataupun istana negara mereka lupakan aspirasi-aspirasi dan janji politik yang telah mereka lontarkan. 

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment