Di Balik Perisai Demokrasi; Kesejahteraan Rakyat vs Kesejahteraan Golongan

Di Balik Perisai Demokrasi; Kesejahteraan Rakyat vs Kesejahteraan Golongan
Ket Gambar : (Clickinfo.co.id)

 

Clickinfo.co.id, Joseph. A. Schmeter dalam Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani Mengatakan demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sementara itu Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl menyatakan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan- tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang terpilih. Pernyataan Joseph A. Schmeter, Phillipe C. Schimitter dan Terry Lynn Karl patut di uji dengan pertanyaan dalam konteks negara Indonesia setelah sekian lama menganut sistem demokrasi, apakah demokrasi telah membawa negara Indonesia menghadirkan kesejahteraan? Apakah pemerintah hari ini dan yang akan datang dapat menghilangkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan hukum? Apakah pemeratan kesejahteraan sosial, ekonomi, dan hukum telah tercapai atau kesejahteraan hanya dimiliki oleh sekelompok golongan dan wilayah? Untuk menjawabnya, kita harus melihat potret ekosistem politik, ekonomi masyarakat, dan kondisi hukum di negara Indonesia.

Demokrasi Bukan Hanya Sekedar Narasi

Perubahan-perubahan begitu cepat terjadi di berbagai belahan dunia dalam konteks akademik telah melahirkan teori tentang transisi, baik dalam transisi politik, ekonomi, hukum, dan teori transisi dalam konteks lainnya. Dalam konteks politik, makna "transisi politik" antara lain diartikan sebagai peralihan atau perubahan pemerintahan yang terjadi di berbagai negara.

Di beberapa negara, kekuatan-kekuatan oposisi telah berubah menjadi penguasa. Sementara itu di sebagian negara-negara lainnya, walaupun tidak sepenuhnya terputuskan dengan rezim sebelumnya yang zalim, namun telah menjauhkan dirinya dari mereka dan dari warisan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya yang bersifat otoriter. Pengalaman selama masa Orde Lama dan Orde Baru cukup memberikan kesan yang mendalam dalam sistem politik Indonesia.

Peran elit yang terlalu dominan membuat masyarakat tidak berdaya untuk membangun dirinya dan terlibat dalam menciptakan sistem politik yang stabil, malah sebaliknya timbul beberapa persoalan yang tidak terselesaikan. Masyarakat atau rakyat merupakan penentu berjalannya suatu sistem politik, karena masyarakat dianggap sebagai subjek dan objek dari sistem politik yang ada.

Indonesia pasca reformasi adalah Indonesia yang diharapakan menjadi versi baru yang menghadirkan sistem demokrasi yang mensejahterakan, berkedaulatan rakyat, kesejateraan dalam memanusiakan manusia, kesejahteraan ekonomi, hukum yang yang menghadirkan keadilan bagi seluruh masyarakat, dan kesejahteraan di segala aspek kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Akan tetapi tidak dapat di pungkiri bahwasannya euforia demokrasi politik pasca reformasi itu ada.

Wajar saja ketika indonesia mengalami transisi sebelumnya kita berada pada rezim otoriter yang memberangus kebebasan dan hak-hak sipil dengan mengatasnamakan pembangunan. Rezim Orde Baru menggunakan cara-cara yang represif untuk mengendalikan gejolak-gejolak politik yang timbul dari masyarakat.

Pemerintah Orde Baru yang bercorak militeristik otoriter, melakukan banyak penahanan politik kepada mahasiswa, tokoh politik dan siapa saja yg menetang kebijakan pemerintah kala itu. Demonstrasi mahasiswa di kampus-kampus banyak yang menyuarakan tentang isu korupsi, kolusi dan nepotisme dari rezim Orde Baru.

Pembredelan media massa oleh rezim Orde Baru bertujuan untuk membungkam kritik yang dianggap membahayakan bagi keberlangsungan pemerintahan. Berbeda dengan hari ini yang dimana iklim demokratis, kebebasan berpendapat, dan hak-hak sipil mulai menyinari negara Republik Indonesia, sudah jelas bahwanya dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”, akan tetapi masih ada beberapa fenomena kebebasan berpendapat yang dibungkam seperti kasus fatia dan haris azhar vs menko marves luhut binsar panjaitan, beberapa mahasiswa yang tak diberi izin untuk melakukan aksi dalam rangka penyampaian, aspirasi, dan beberapa fenomena kebebasan berpendapat dan berekspresi lainnya.

Kesejahteran Rakyat vs Kesejahteraan Golongan

Muhammad Hatta dalam Demokrasi Kita telah menegaskan, “Disebelah demokrasi politik harus berlaku pula demokrasi ekonomi” karena, “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan”. Ekosistem politik indonesia menghadirkan demokrasi elektoral dengan biaya tinggi (hight cost politic), ditambah lagi dengan tidak terkendalinya politik uang, menjadikan sistem politik mahal.

Dengan demikian, kompetisi menjadi tidak sehat karena orang-orang yang memiliki surplus gagasan, kebijakan, dan kompetensi politik tetapi memiliki kelangkaan terhadap modal kapital akan tersingkirkan dengan sendirinya. Di samping itu, dengan hadirnya demokrasi elektoral dengan biaya tinggi, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan kebijakan yang korup dan kejahatan kerah putih tak terelakkan.

Hal ini merupakan salah satu yang menyebabkan agenda kesejahteraan yaitu demokrasi ekonomi dan penegakan hukum yang berkeadilan menjadi terhambat dan cenderung terabaikan. Per Maret 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin di Indonesia berjuamlah 25,90 juta orang atau 9,36 persen (%) dari jumlah penduduk.

Bahkan, presentase penduduk miskin ketika pandemi Covid-19 pernah menyentuh angka 10,19 % pada September 2020 dan 10,14 pada Maret 2021. Begitupun tingkat pengangguran yang relatif masih tinggi per Februari 2023 terdapat 7,99 juta pengangguran di Indonesia.

Angka ini 5,45 persen dari total angkatan kerja pertahun sebesar 146,62 juta tenaga kerja dan pada tahun 2022 tingkat pengangguran menyentuh angka 8,42 juta orang. Belum lagi upah buruh yang masih minim dan juga belum terjadinya pemerataan.

Hal tersebut merupakan potret kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi menandakan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia sangat rentan ketika berhadapan dengan gejolak ekonomi.

Selain ketidaksetaraan politik dan kesenjangan sosial-ekonomi, potret produk dan penegakan hukum di Indonesia patut di pertanyakan. Mulai dari produk hukum Undang-Undang cipta kerja, revisi Undang-Undang KPK, revisi RKUHP, dan ada beberapa produk hukum yg lainnya tercipta pada tahun 2019-2023 patut di soroti dalam hal prosedur maupun subtansi hukum.

Bagaimana desas desus terkait isu tidak melibatakan pastisipasi publik dan revisi yg kian cepat menjadi titik permasalah dalam proses pembuatan undang-undang.

Sudah kita ketahui bahwasannya prinsip negara hukum menurut Prof. Susi Dwi Harijanti terdiri dari “subtantive due process of law” dan “procedur due process of law”, ketika proses prosedur yang tidak melibatkan partisipasi publik atau pun pemenuhan atas hak-hak prosedural dalam tahap pembentukan undang-undang tidak terpenuhi, maka hal-hal subtantif kemungkinan besar tidak dapat terpenuhi. Karena publik memiliki hak untuk di dengar, memiliki hak untuk dipertimbangkan dikarenakan pada akhirnya yg akan terkena dampak dari undang-undang tersebut adalah rakyat.

Belum lagi kejahatan kerah putih, yang di mana proses penegakan hukum yang kontroversial beberapa di antaranya menjerat eks menteri kabinet indonesia maju periode 2019-2024.

Kasus korupsi perkara suap bantuan sosial (bansos) Covid-19 di Jabodetabek, yang dilakukan Juliari Batubara yang sempat menjabat sebagai Menteri Sosial itu kemudian divonis 12 tahun penjara serta denda Rp 500.000.000 dan subsider 6 bulan kurungan. Dia juga divonis membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 14,5 miliar dalam satu bulan atau subsider 2 bulan penjara). Hakim juga memerintahkan pencabutan hak pilih dan dipilih dalam jabatan publik hingga 4 tahun.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga terbukti menerima suap penerbitan izin budi daya dan ekspor benih lobster. Edhy divonis 5 tahun penjara, denda Rp 400.000.000 subsider 6 bulan penjara, dan pencabutan hak pilih hingga 2 tahun.

Eks Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi juga terjerat korupsi suap hibah dana KONI divonis 7 tahun penjara serta denda Rp 400.000.000 subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, Imam juga divonis mengganti kerugian negara sebesar Rp 18,15 miliar, dan pencabutan hak pilih hingga 4 tahun. Idrus Marham yang pernah menjabat sebagai Menteri Sosial di kabinet Jokowi terjerat kasus suap proyek PLTU Riau. Dia kemudian divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150.000.000 subsider 2 bulan kurungan.

Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate divonis 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarata. Dia terbukti menerima belasan miliar dari proyek pengadaan base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung tahap 1 sampai 5. Plate juga dibebani pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 15,5 miliar subsider dua tahun kurungan.

Terbukti korupsi seperti dalam rumusan dakwaan Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Eks Mentan Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka dugaan pemerasan dan gratifikasi diduga memeras dan menerima gratifikasi dari Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Sekjen Kementan) Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian. KPK menjerat Syahrul, Hatta, dan Kasdi dengan tiga pasal yakni Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kompas.com10/11/2023).

Kalau kita secara sepintas meninjau kelima persyaratan yang disebutkan oleh Linz dan Stepan, maka dengan sendirinya kita dapat menarik kesimpulan bahwa kondisi bangsa dan negara Indonesia masih belum mendekati dari keadaan yang memadai.

Lima syarat itu sangat penting bagi proses transisi menuju sistem demokrasi yang mensejahterakan. Pertama, civil society yang bebas dan aktif. Kedua, masyarakat politik, termasuk elit parpol-parpol, yang relatif otonom. Ketiga, penegakan hukum. Keempat, birokrasi yang profesional.

Kelima, masyarakat ekonomi yang relatif otonom dari negara dan pasar murni (Elvi Juliansyah, Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi (Bandung: Mandar Maju, 2013). Pada tahun 2024 kita akan dihadapkan dengan pesta demokrasi yang dimana kita akan kembali melakukan pemilihan nahkoda baru bangsa Indonesia, kalau kita melihat secara fakta dan realitas yang ada demokrasi bagaikan sebuah perisai dalam hal melindungi, mengamankan, dan menetralisir keadaan yang ada, masih terjadi kesenjangan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat kesejahteraan cenderung hanya dimiliki oleh sebagian golongan atau pun wilayah tertentu. Patut kita tunggu, apakah gagasan dan kebijakan di pemerintahan yang akan datang akan mencipatakan kepakeman demokrasi dan pemerataan kesejahteraan rakyat atau tetap sama agenda demokrasi dan kesejahteraan rakyat hanya sekedar narasi semata.

 

(Penulis : Ragil Jaya Tamara, S.H.) 

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment