
Clickinfo.co.id - Tahun 2017, mereka duduk bertiga di warung bakso kecil—dua siswa SMP berseragam rapi, satu orang guru dengan senyum hangat. Momen sederhana: semangkuk bakso, tawa ringan, dan masa depan yang terasa masih luas. Foto itu diam, tapi menyimpan harapan.
Lalu waktu berjalan. Tahun 2025, sang guru tak sengaja bertemu salah satu muridnya. Tidak lagi berseragam, tak lagi duduk di ruang kelas. Kini ia duduk di trotoar, tubuhnya berlapis cat perak, menjadi “𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘴𝘪𝘭𝘷𝘦𝘳” di perempatan kota yang riuh dan tak peduli.
Dunia mungkin akan cepat menilai. Tapi foto itu tak butuh penilaian. Ia butuh perasaan.
𝗞𝗶𝘁𝗮 𝗛𝗶𝗱𝘂𝗽 𝗱𝗶 𝗡𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗸 𝗦𝗮𝗺𝗮 𝗕𝗮𝗴𝗶 𝗦𝗲𝗺𝘂𝗮
Kita hidup di negara yang bagi sebagian orang adalah panggung megah, tapi bagi sebagian lain hanya sisa ruang di balik tirai. Pendidikan katanya hak semua, tapi kesempatan sering hanya singgah pada yang sudah beruntung dari awal. Anak ini pernah punya mimpi—ia masih punya mimpi. Tapi mimpinya dihantam kerasnya realitas, dan kini ia mengais rupiah dengan cara yang sering disalahpahami: menjadi manusia silver.
Banyak orang menuding: itu malas, itu mengganggu jalan, itu bagian dari 'eksploitasi'. Tapi siapa yang lebih malas: mereka yang masih berjuang di jalan, atau sistem yang tak pernah benar-benar menyentuh dasar?
𝗚𝘂𝗿𝘂 𝗜𝘁𝘂 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗟𝘂𝗽𝗮
Yang paling menyesakkan dari foto ini mungkin bukan cat peraknya, bukan debu jalanan, tapi tatapan si guru: tak menghakimi, hanya memeluk dengan hadir. Tak banyak kata yang bisa keluar, tapi jelas ada luka di dalam. Bukan malu, bukan kecewa, tapi rasa bersalah sebagai bagian dari sistem yang gagal memeluk semua muridnya secara adil.
Seorang guru menanam benih, tapi tak semua benih bisa tumbuh jika tanahnya tandus dan langit tak memberi hujan.
𝗠𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗠𝗲𝘀𝗸𝗶 𝗗𝗶𝘁𝗶𝗻𝗴𝗴𝗮𝗹
Saya ingin bagikan parafrase berikut:
“Ada saatnya bangsa tak lagi diukur dari deretan pencapaian, tapi dari kepekaan melihat yang tersisih.”
Barangkali, anak-anak seperti ini bukan gagal. Mereka hanya terlalu dini ditinggal oleh negara. Tapi mereka tidak menyerah. Bukankah butuh keberanian luar biasa untuk tetap berdiri, bahkan di trotoar yang tak memberi jaminan?
𝗕𝗲𝗿𝘁𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗔𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗕𝗲𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗟𝗮𝗶𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗕𝗲𝗹𝗮𝗷𝗮𝗿
Anak ini mungkin tidak punya kelas, tapi ia sedang belajar kehidupan. Ia tidak punya meja belajar, tapi ia sedang menghafal cara bertahan. Dan ia tetap manusia, bukan sekadar “pekerja informal”. Ia tetap layak dipeluk oleh negara dan dihormati oleh masyarakat.
Karena pada akhirnya, kebesaran bangsa bukan diukur dari gedung tinggi atau prospek ekonomi, tetapi dari keberanian menengok ke bawah—ke wajah-wajah yang kita kenal, yang dulu pernah kita ajari menulis dan berhitung, tapi hari ini hanya ingin didengarkan.
𝗨𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗗𝗶𝗿𝗲𝗻𝘂𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻
Delapan tahun lalu, seorang guru mengajak muridnya makan bakso. Delapan tahun kemudian, ia kembali menemuinya—bukan untuk mengajar, tapi untuk belajar.
𝘛𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱. 𝘛𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘦𝘴𝘪𝘭𝘪𝘦𝘯𝘴𝘪. 𝘛𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘳𝘢𝘱𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘭𝘢, 𝘮𝘦𝘴𝘬𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘶𝘵𝘶𝘱 𝘭𝘢𝘱𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘣𝘶 𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘢𝘯.
Oleh: Herry Tjahjono
Comments (0)
There are no comments yet