
Clickinfo.co.id - Delapan puluh tahun sudah Pancasila menjadi dasar negara dan ideologi pemersatu bangsa. Namun, peringatan hari lahir Pancasila tahun ini justru menjadi momen reflektif yang getir.
Sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang semestinya menjadi mahkota dari seluruh perjuangan kebangsaan, justru terabaikan, bahkan mati, di ladang-ladang reforma agraria yang tak kunjung tuntas.
Reforma agraria, yang sejak awal republik digagas sebagai instrumen pembebasan dari ketimpangan struktural, kini kehilangan ruhnya.
Alih-alih menjadi alat redistribusi kekuasaan dan kekayaan agraria kepada rakyat, ia terhenti di meja birokrasi, tersandera oleh kepentingan korporasi, dan disabotase oleh oligarki tanah.
Mandat kerakyatan dalam pengelolaan agraria telah dikalahkan oleh logika investasi dan penguasaan pasar.
Pemerintahan saat ini memang sempat menghidupkan harapan. Lewat agenda Nawacita, Presiden Joko Widodo berjanji menjalankan reforma agraria sejati. Program redistribusi 9 juta hektare lahan menjadi prioritas nasional.
Namun dalam pelaksanaannya, reforma agraria mengalami penyempitan makna: disederhanakan menjadi sekadar program bagi-bagi sertipikat tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Sementara itu, konflik struktural yang melatarbelakangi ketimpangan agraria justru tak disentuh.
Reforma agraria sejatinya bukan produk kebijakan pragmatis belaka, melainkan amanat konstitusional dan produk hukum utama negara.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 secara tegas menyatakan bahwa tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. UUPA juga mengatur secara eksplisit tentang pentingnya land reform sebagai upaya pembatasan pemilikan tanah yang berlebihan, sekaligus redistribusi kepada mereka yang membutuhkan.
Namun, semangat UUPA kerap dibelokkan. Di tengah menguatnya investasi dan megaproyek infrastruktur, tanah-tanah rakyat diambil alih demi kepentingan korporasi. Negara, yang seharusnya menjadi pengawal konstitusi, justru menjadi bagian dari mesin perampasan itu.
Contoh konkret kegagalan reforma agraria dapat kita lihat di berbagai wilayah. Salah satunya adalah konflik agraria di Rempang, Kepulauan Riau, di mana lebih dari 16 ribu warga harus menghadapi penggusuran paksa akibat proyek Rempang Eco-City.
Proyek ini didorong dengan dalih pembangunan dan investasi, padahal warga Rempang telah mendiami tanah itu secara turun-temurun sejak sebelum Indonesia merdeka.
Mereka tidak pernah dimintai persetujuan yang adil dan bebas. Ironisnya, negara menggunakan pendekatan keamanan untuk memuluskan proyek tersebut, bukan pendekatan dialogis dan konstitusional.
Kemudian tak jauh dari Riau yakni Lampung juga terjadi masalah konflik agraria terkait dengan pembangunan Megaproyek Kota Baru yang menciptakan masalah struktural ditengah masyarakat yang terenggut hak untuk tanam tumbuh dan tuainya.
Dalam prosesnya banyak terjadi tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat karena mempertahankan hak atas tanahnya yang dirasa sudah ditempati jauh sebelum masa kemerdekaan.
Selain adanya konflik agraria Kota Baru, masyarakat Desa Sripendowo Lampung Timur juga sedang berjuang untuk mempertahankan hak atas tanahnya.
Adanya penerbitan sertipikat tanah tanpa sepengetahuan penggarap lahan menunjukkan adanya dugaan keterlibatan pihak BPN dalam terbitnya sertipikat yang tidak sesuai tersebut.
Kasus serupa juga terjadi di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, ketika warga menolak penambangan andesit untuk proyek Bendungan Bener. Aksi penolakan warga justru dibalas dengan pengerahan aparat dalam jumlah besar, penangkapan sewenang-wenang, dan teror psikologis.
Negara kembali berdiri di sisi korporasi dan pembangunan eksploitatif, bukan bersama rakyat.
Tak kalah penting, konflik agraria di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, menunjukkan bagaimana puluhan ribu hektare tanah adat dikuasai oleh perusahaan sawit, sementara masyarakat lokal hanya menjadi buruh atau malah terusir dari kampung halamannya.
Masyarakat Dayak Tomun, salah satunya, telah berjuang lebih dari satu dekade untuk mendapatkan kembali hak atas tanah ulayat mereka — dan hingga hari ini, perjuangan itu belum membuahkan hasil.
Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2023 terjadi 212 konflik agraria, melibatkan lebih dari 100.000 keluarga, dan mencakup lebih dari 1 juta hektare tanah. Dari seluruh konflik tersebut, sebagian besar terjadi di sektor perkebunan dan infrastruktur, dan mayoritas melibatkan aparat keamanan dan korporasi besar.
Apa makna Pancasila dalam situasi seperti ini? Ketika negara membiarkan bahkan memfasilitasi perampasan tanah, kriminalisasi petani, dan pembungkaman masyarakat adat, maka Pancasila telah direduksi menjadi alat propaganda kekuasaan semata.
Pancasila bukan slogan kosong. Bung Karno menyebutnya sebagai “kristalisasi dari nilai-nilai kehidupan rakyat Indonesia”.
Ia lahir dari penderitaan dan perjuangan rakyat, bukan dari meja teknokrat. Oleh karena itu, menjadikan Pancasila sebagai dasar negara mengharuskan kita untuk menghidupkannya dalam kebijakan publik terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti penguasaan tanah dan sumber daya alam.
Keadilan sosial bukan sekadar sila kelima, melainkan jiwa dari keseluruhan Pancasila. Tanpa keadilan sosial, maka seluruh bangunan ideologi kita runtuh secara etis.
Reforma agraria sejati bukanlah soal sertifikat, bukan pula sekadar menggugurkan program pemerintah. Ia adalah usaha politik untuk membongkar ketimpangan, membebaskan petani dari kemiskinan struktural, dan mengembalikan tanah kepada rakyat sebagai sumber kehidupan, bukan komoditas spekulatif.
Negara harus kembali pada mandat konstitusional dan amanat UUPA 1960. Reforma agraria sejati harus berlandaskan pada tiga prinsip: redistribusi tanah secara adil, perlindungan hukum terhadap hak rakyat atas tanah, dan pengakuan penuh atas wilayah adat.
Tanpa itu semua, Pancasila hanya akan menjadi mitos yang digemakan tiap 1 Juni, tapi dikhianati sepanjang tahun.
Refleksi 80 tahun Pancasila adalah ajakan untuk kembali ke akar ke realitas rakyat, ke tanah-tanah yang menjadi saksi pengkhianatan atas janji kemerdekaan. Pancasila harus dibaca bukan dari menara gading, tetapi dari sawah yang digusur, dari kampung adat yang terbakar, dan dari petani yang dipenjara karena menolak penindasan.
Keadilan sosial bukanlah utopia. Ia adalah janji sejarah. Dan janji itu harus ditagih bukan di ruang-ruang seminar, tapi di jalan-jalan perjuangan rakyat yang mempertahankan tanahnya.
Jika Pancasila ingin tetap hidup, maka keadilan agraria harus ditegakkan. Jika tidak, Pancasila akan mati di ladang-ladang, di hutan-hutan adat, dan di hati rakyat yang kehilangan kepercayaannya pada negara.
Oleh : Naufal Alman Widodo
Comments (0)
There are no comments yet