2019: 47,4% Warga Benarkan Politik Uang Masih Ada, 2024 Masih Rawan Tinggi

2019: 47,4% Warga Benarkan Politik Uang Masih Ada, 2024 Masih Rawan Tinggi
Ket Gambar : Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati. | dok. Perludem/Muzzamil

Clickinfo.co.id, BANDARLAMPUNG - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, mengatakan dengan mengutip kajian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2019, menemukan bahwa 47,4 persen masyarakat membenarkan masih adanya praktik politik uang (money politics) dalam Pemilu 2019 silam. Dan 46,7 persen masyarakat menganggap hal tersebut wajar.

Dalam wawancaranya di Kompas edisi 2 Februari lalu, Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati mengungkap pula hasil riset Universitas Gadjah Mada (UGM) juga pada 2019 silam, yang menyebut praktik politik uang sudah menjadi semacam budaya.

Aktivis Pemilu dan kepemiluan, periset Pemilu sejak dari berkiprah di Center for Electoral Reform (Cetro) dan Perludem sebelum ia resmi menggantikan direktur terdahulu Titi Anggraini sejak tahun 2020 lalu ini menohok, penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) dari sumber anggaran negara (APBN/APBD) seperti pembagian sembako kemudian disertai foto anggota legislatif yang mau maju lagi (petahana) dan lain-lain, termasuk dalam  kategori politik uang saat masa kampanye.

“Bagi sembako gunakan fasilitas negara seperti aneka macam bansos bersumber dari APBN itu kategori politik uang di masa Pemilu. Apalagi bagi-bagi uang seperti bantuan, barang dan lain-lain,” kata ia.

Menjawab Kompas, direktur hijabers kelahiran Palembang, 24 Agustus 1987 yang akrab disapa Ninis itu menilai, politik uang menjadi persoalan yang tidak pernah selesai setiap pesta demokrasi di Indonesia.

Menurutnyi, praktik menyuap pilihan rakyat menjadi masalah klasik setiap tiba momen Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPD, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

“Politik uang adalah hasil akumulasi yang terjadi dari Pemilu sebelumnya,” kata Ninis.

Politik uang ujar ia, menjadi kewaspadaan dini dan memiliki potensi kerawanan tinggi sejak dimulainya kampanye Pemilu 2024 pada 28 November 2023 hingga berakhir 10 Februari 2024 lalu.

Bahkan lebih permisif lagi saat masa tenang (kini atau 11-13 Februari 2024). "Dan hari pemungutan suara (serangan fajar) pada 14 Februari," tandas istri Reza Syawawi ini, ibu dua anak, Aishani Meutia Azzahra, Kemal Rasyid Fachruddin buah cinta mereka.

Beragam modus politik uang ujarnyi, masih diwajarkan oleh pemilih pada Pemilu 2024 sebagai dampak pandemi global COVID-19.

Alumnus S1 Sosiologi dan S2 Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), peminat sistem dan advokasi Pemilu Indonesia khususnya dalam soal tata kelola pemilu ini menyebut, saat pandemi lalu, masyarakat terbiasa menerima bansos dalam bentuk sembako mau pun uang tunai.

"Hal itu berdampak pada diwajarkannya politik transaksional berupa uang, sembako dan aneka bansos menjelang Pemilu, baik sebelum mau pun saat masa kampanye."

"Besaran nominal politik uang tidak lagi dipilah pilih, berapa pun diterima (permisif). Rp20 ribu bahkan bisa saja diterima. Ekonomi masyarakat belum sepenuhnya pulih pascakrisis akibat dampak pandemi COVID-19. Kondisi ini semakin membuat politik uang lebih permisif dan sangat rawan,” ujar ia.

Ia mengatakan, sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu memang hanya bisa menjangkau peserta Pemilu pada saat masa kampanye.

Beleid pengatur, landasan Pemilu 2019 ini tidak direvisi untuk keperluan Pemilu 2024. "Masalah menjadi lebih kompleks, saat DPR menetapkan masa kampanye Pemilu 2024 diperpendek menjadi 75 hari saja. Alhasil, muncul ruang kosong sejak peserta Pemilu ditetapkan hingga masa kampanye dimulai."

Ruang kosong yang lantas disebut sebagai masa sosialisasi itulah yang dimanfaatkan oleh para bakal calon peserta Pemilu untuk bermanuver, tanpa takut terkena hukuman.

“Dulu argumentasinya (memperpendek masa kampanye) supaya tidak gaduh, supaya tidak semakin masif penyebaran disinformasi. Tapi kenyataannya, tak jauh berbeda."

Penyelenggara Pemilu unsur pengawas, yakni Badan Pengawas Pemliu (Bawaslu) semakin sulit melakukan penindakan pelanggaran, dan antisipasi bayang-bayang politik uang dengan modus yang kian beragam.

Belum lagi, temuan pelanggaran Pemilu di Bawaslu ada batas waktu, maksimal 7 hari harus dilaporkan setelah diketahui. Namun, laporan ke Bawaslu juga tidak mudah. Masyarakat harus ceritakan kronologinya seperti apa, apakah ada saksi atau tidak.

Masyarakat awam tidak terbiasa dengan hal-hal pelanggaran hukum tindak pidana Pemilu. Apalagi memenuhi unsur laporan yang dirasakan amat merepotkan. Itu sebab kejadian politik uang menguap begitu saja.

"Publik tidak terlalu peduli, kadang mereka tidak tahu aturan pelaporan seperti apa. Saat dilaporkan sulit untuk memenuhi unsur tindak pidana Pemilu, apakah ada ajakan untuk memilih A, B, C atau tidak?" bebernyi.

Menurutnya, membeli suara pemilih melalui politik uang susah untuk menjerat pelaku. Mereka yang melakukan, tuding Ninis, adalah aktor lapangan. "Bukan tim resmi yang terdaftar di KPU,” ujar Khoirunnisa.

Ia menerangkan, Peraturan KPU (PKPU) mengatur saat kampanye, peserta Pemilu diperbolehkan untuk memberikan materi kampanye maksimal senilai Rp100.000 dalam bentuk kaos, stiker, dan lain-lain.

Perinci, aturan soal bahan kampanye yang diperbolehkan KPU dan bukan termasuk dalam serangan fajar dijelaskan pada Pasal 30 ayat 2 yang berbunyi: bahan kampanye dalam bentuk selebaran/flyer, brosur/leaflet, pamflet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat minum/makan, kalender, kartu nama, pin, dan atau alat tulis.

"Memenuhi unsur tindak pidana Pemilu, aparat penegak hukum kejar semua unsur formil dan materil harus lengkap. Harus ada ajakan pilih ini ya, tapi kalau tidak ada maka laporan tak bisa dilanjutkan,” sebut Ninis, memisalkan contoh kasus diberikannya uang Rp100.000 maka harus ada buktinya.

"Sulit dijerat itu. Di Mahkamah Konstitusi juga selama ini jika ada pelanggaran Pemilu sulit dibuktikan dan diadili," ungkap ia.

Apa penyebab derasnya misinformasi dan disinformasi Pemilu terutama terkait soal politik uang ini? Salah satu penyebab ujar ia, karena ada kesenjangan informasi di masyarakat. Ada informasi yang terputus di tengan masyarakat tentang politik uang.

"Informasi kerawanan politik uang dalam Pemilu harus disebarkan ke masyarakat agar mereka jauh lebih kritis. Pemilih akan selesai transaksinya dengan caleg ketika uang diberikan, padahal kontrak politik antara pemilih dan yang dipilih itu lima tahun jangka waktunya. Tapi karena dia memilih diberikan uang, setelah terpilih dia (pemilih) akan ditinggalkan,” pungkas ia.

Sebagai informasi pengingat, Bawaslu RI pada 2023 lalu telah merilis bahwa politik uang adalah salah satu isu utama Indeks Kerawanan Pemilu (IKP).

Sementara, masih seputar urusan akronim pelesetan NPWP: nomor piro wani piro ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) medio Februari 2018 silam menyebut praktik politik uang adalah salah satu musuh utama dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi, baik nasional mau pun lokal di Indonesia.

Istilah politik uang, dimaksudkan sebagai praktik pembelian suara pemilih oleh peserta Pemilu, mau pun oleh tim sukses, baik yang resmi maupun tidak, biasanya sebelum pemungutan suara dilakukan.

"Dengan politik uang, pemilih kehilangan otonominya untuk memilih kandidat pejabat publik melalui pertimbangan rasional, seperti rekam jejak, kinerja, program mau pun janji kampanye karena memilih kandidat hanya karena pemberian uang belaka," ICW.

Bukan iklan, pengingat, politik uang dapat menyebabkan sedikitnya tiga sambat. Yakni, pidana kurungan dan denda rupiah: penjara penuh, gemburnya korupsi politik, rusaknya persendian paradigma kehidupan bangsa dan negara.

Pemilu, kata Frans Magniz Suseno, adalah jalan konstitusional untuk mencegah orang jahat berkuasa. "Orang baik pilih orang baik", bunyi tagline politik.

Pemilu 2024, komposisi pemilihnya naik 12 juta dari 2019, Pemilu lintas lima generasi.

Dari pemilih terbanyak: milenial (Y) kelahiran 1981-1996 sejumlah 68.822.839 orang atau 33,60 persen, terbesar berikutnya: generasi X (lahir tahun 1965-1980) sebanyak 57.486.482 orang atau 28,07 persen; generasi Z atau gen Z atau genzi atau zilenial (lahir 1997 ke atas) ada 46.800.161 orang (21,85 persen); baby boomer (lahir tahun 1946-1964) sebanyak 28.127.340 orang atau 13,73 persen; dan genre pre boomer (lahir sebelum tahun 1945) ada 3.570.850 orang (1,74 persen).

Pembaca, dengan demografi usia terbesar pemilih muda usia 17–40 tahun sejumlah 106.358.447, hampir 52 persen dari total 204,8 juta jiwa atau 75 persen dari total penduduk Indonesia, pemilih Pemilu 14 Februari 2024 lusa, anda salah satunya? Siap move on dari wani piro? (Muzzamil)

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment