Indonesia Menuju Negara Kesejahteraan

Indonesia Menuju Negara Kesejahteraan
Ket Gambar : Junaidi Ismail. Foto: Ist

Clickinfo.co.id - Setiap negara lahir membawa janji. Janji itu tidak selalu tertulis secara eksplisit, tetapi tercermin dalam tujuan pembentukannya, nilai-nilai yang dianut, serta arah kebijakan yang ditempuh. 

Indonesia, sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, memikul janji besar, menghadirkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Janji tersebut bukan sekadar aspirasi moral, melainkan mandat konstitusional yang mengikat seluruh penyelenggara negara.

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, para pendiri bangsa secara tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah “memajukan kesejahteraan umum”. Frasa ini tidak berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan tujuan lain, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dengan demikian, kesejahteraan bukanlah tujuan sampingan, apalagi sekadar produk sampingan pembangunan ekonomi. Kesejahteraan adalah jantung dari tujuan bernegara. Inilah yang menempatkan Indonesia secara ideologis dan konstitusional dekat dengan konsep negara kesejahteraan (welfare state).

Namun, pertanyaan mendasarnya adalah, sejauh mana Indonesia telah bergerak menuju negara kesejahteraan yang sesungguhnya? Apakah kesejahteraan telah menjadi orientasi utama kebijakan negara, atau masih sebatas jargon politik dan retorika pembangunan?

Tulisan ini berupaya mengkaji secara kritis dan komprehensif posisi Indonesia dalam perjalanan menuju negara kesejahteraan, ditinjau dari perspektif konstitusi, teori negara hukum, dinamika kebijakan publik, serta tantangan struktural yang dihadapi.

Negara kesejahteraan (welfare state) merupakan konsep yang berkembang sebagai respons terhadap keterbatasan negara liberal klasik. Dalam negara liberal klasik, peran negara dibatasi seminimal mungkin, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar akan secara alami menciptakan kesejahteraan. Negara hanya berfungsi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, atau dikenal dengan istilah nachtwachterstaat (negara penjaga malam).

Namun, sejarah menunjukkan bahwa mekanisme pasar yang dibiarkan bekerja secara bebas justru melahirkan ketimpangan sosial, eksploitasi tenaga kerja, dan kemiskinan struktural. Revolusi Industri di Eropa menjadi contoh nyata bagaimana pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak otomatis membawa kesejahteraan bagi kelas pekerja.

Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, lahirlah konsep negara kesejahteraan, yang menempatkan negara sebagai aktor aktif dalam menjamin hak-hak sosial dan ekonomi warga negara. Dalam negara kesejahteraan, negara bertanggung jawab atas penyediaan layanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, perlindungan tenaga kerja, serta intervensi ekonomi untuk mencegah ketimpangan yang ekstrem.

Negara kesejahteraan tidak menolak pasar, tetapi mengendalikannya agar tetap selaras dengan prinsip keadilan sosial. Negara tidak menjadi penguasa absolut ekonomi, tetapi berfungsi sebagai pengatur, pelindung, dan penyeimbang.

Jika dilihat dari perspektif konstitusi, Indonesia memiliki fondasi yang sangat kuat sebagai negara kesejahteraan. UUD 1945, khususnya setelah perubahan, memuat berbagai ketentuan yang mencerminkan semangat welfare state.

Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Ayat-ayat selanjutnya mengatur penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sementara itu, Pasal 34 UUD 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Bahkan setelah amandemen, pasal ini diperluas dengan kewajiban negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat serta memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu.

Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan bahwa kesejahteraan bukanlah kebijakan opsional, melainkan perintah konstitusional yang bersifat imperatif. Negara tidak boleh abai, apalagi menyerahkan sepenuhnya urusan kesejahteraan kepada mekanisme pasar atau filantropi sosial.

Indonesia secara eksplisit menyatakan diri sebagai negara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Namun, pemahaman tentang negara hukum tidak boleh berhenti pada aspek formalitas hukum semata.

Negara hukum modern harus dipahami sebagai negara hukum yang berkeadilan dan menyejahterakan. Kepastian hukum tanpa keadilan sosial hanya akan melanggengkan ketimpangan. Hukum yang netral terhadap ketidakadilan pada hakikatnya adalah hukum yang berpihak kepada yang kuat.

Dalam konteks negara kesejahteraan, hukum berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan sosial. Hukum harus mampu mengoreksi ketimpangan struktural, melindungi kelompok rentan, dan memastikan distribusi sumber daya yang adil.

Oleh karena itu, konsep negara hukum Indonesia seharusnya dipahami sebagai negara hukum kesejahteraan, di mana supremasi hukum berjalan seiring dengan supremasi keadilan sosial.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memberikan landasan filosofis yang kuat bagi negara kesejahteraan. Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, secara eksplisit menegaskan tujuan kesejahteraan yang inklusif dan berkeadilan.

Namun, keadilan sosial dalam Pancasila tidak dapat dipisahkan dari sila-sila lainnya. Keadilan sosial harus dilandasi oleh nilai kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan ketuhanan. Dengan demikian, negara kesejahteraan Indonesia bukan sekadar negara yang menyediakan bantuan sosial, tetapi negara yang menghormati martabat manusia dan mendorong partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan.

Pancasila menolak ekstremitas, baik ekstrem liberalisme yang mengabaikan keadilan sosial, maupun ekstrem etatisme yang meniadakan kebebasan individu. Inilah ciri khas model negara kesejahteraan Indonesia.

Dalam praktiknya, Indonesia telah mengembangkan berbagai kebijakan dan program yang mencerminkan upaya menuju negara kesejahteraan, seperti program jaminan kesehatan nasional, bantuan sosial, subsidi pendidikan, dan berbagai skema perlindungan sosial.

Namun, efektivitas kebijakan tersebut masih menghadapi banyak tantangan. Masalah klasik seperti ketidaktepatan sasaran, birokrasi yang rumit, serta praktik korupsi dan penyalahgunaan kewenangan sering kali menggerus tujuan mulia program kesejahteraan.

Selain itu, orientasi pembangunan yang masih sangat menekankan pertumbuhan ekonomi sering kali mengabaikan aspek pemerataan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan penurunan ketimpangan sosial.

Negara kesejahteraan menuntut perubahan paradigma: dari sekadar mengejar angka pertumbuhan menuju pembangunan yang berorientasi pada manusia.

Salah satu tantangan terbesar menuju negara kesejahteraan adalah ketimpangan sosial dan ekonomi yang masih tinggi. Ketimpangan ini tidak hanya terjadi antarindividu, tetapi juga antardaerah dan antarkelompok sosial.

Ketimpangan struktural sering kali bersumber dari akses yang tidak merata terhadap pendidikan, kesehatan, dan sumber daya ekonomi. Tanpa intervensi negara yang kuat dan konsisten, ketimpangan ini akan terus direproduksi dari generasi ke generasi.

Negara kesejahteraan menuntut keberanian negara untuk melakukan redistribusi, baik melalui kebijakan fiskal, regulasi pasar, maupun afirmasi bagi kelompok yang tertinggal.

Negara kesejahteraan tidak akan terwujud tanpa negara yang kuat dan berintegritas. Negara harus mampu menjalankan fungsi regulasi, distribusi, dan redistribusi secara efektif.

Namun, negara yang kuat bukan berarti negara yang otoriter. Negara yang kuat adalah negara yang legitimasinya bersumber dari kepercayaan rakyat, kebijakan yang berpihak, serta penegakan hukum yang adil dan konsisten.

Dalam konteks ini, reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, dan penguatan institusi hukum menjadi prasyarat utama menuju negara kesejahteraan.

Partisipasi Publik dan Masyarakat Sipil

Negara kesejahteraan bukan proyek elitis yang hanya dikerjakan oleh pemerintah. Ia membutuhkan partisipasi aktif masyarakat sipil, akademisi, media, dan dunia usaha.

Kontrol publik terhadap kebijakan negara menjadi mekanisme penting untuk memastikan bahwa program kesejahteraan tidak diselewengkan dan benar-benar menjangkau mereka yang membutuhkan.

Media, khususnya, memiliki peran strategis dalam mengawal kebijakan publik dan menyuarakan kepentingan kelompok marjinal.

Indonesia menuju negara kesejahteraan adalah sebuah proses panjang yang membutuhkan konsistensi, keberanian, dan kesadaran kolektif. Kesejahteraan tidak akan hadir secara instan, tetapi harus diperjuangkan melalui kebijakan yang berpihak, hukum yang adil, dan partisipasi publik yang aktif.

Negara tidak boleh lelah untuk hadir bagi rakyatnya, terutama mereka yang paling rentan. Sebab, ukuran keberhasilan sebuah negara bukanlah seberapa cepat ekonominya tumbuh, melainkan seberapa adil dan sejahtera kehidupan rakyatnya.

Jika Indonesia sungguh-sungguh menjadikan kesejahteraan sebagai orientasi utama, maka cita-cita para pendiri bangsa bukan hanya akan tercatat dalam lembaran sejarah, tetapi hidup dalam realitas keseharian rakyat Indonesia. 

 

Oleh: Junaidi Ismail, SH 

Mahasiswa S2 Hukum Universitas Saburai

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment