Ekonomi Politik Kelembagaan: Menggugat Dominasi Neoklasik dan Merekonstruksi Ekonomi Syariah
-
Aidil - 31 October 2025
Clickinfo.co.id – Artikel ini membahas bagaimana perspektif Ekonomi Politik Kelembagaan (Institutional Political Economy) menjadi fondasi epistemologis yang kuat untuk mengkritik arus utama ekonomi modern.
Kritik tersebut sangat relevan dalam konteks ekonomi syariah, di mana pendekatan yang terlalu positivistik dan individualistik telah menciptakan krisis etika serta ketidakadilan global.
Ekonomi Politik Kelembagaan Syariah hadir sebagai alternatif, menekankan integrasi antara nilai ilahiah (tawhid), norma sosial, dan struktur kelembagaan dalam mendesain sistem ekonomi yang berkeadilan.
---
Pendahuluan: Krisis Etika dalam Rasionalitas Pasar
Ekonomi modern, khususnya mazhab neoklasik, dibangun di atas asumsi rasionalitas individual dan efisiensi pasar. Paradigma ini sering mengabaikan dimensi moral dan sosial dalam analisisnya.
Akibatnya, terjadi peningkatan ketimpangan sosial dan krisis legitimasi etika dalam sistem ekonomi global.
Dalam konteks inilah, Ekonomi Politik Kelembagaan Syariah muncul sebagai narasi tandingan yang menuntut penempatan nilai-nilai fundamental Islam, terutama maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan syariah), sebagai fondasi utama kelembagaan ekonomi.
---
Kerangka Teoretis: Kekuatan di Balik Keputusan Ekonomi
Pendekatan ekonomi politik kelembagaan menegaskan bahwa keputusan ekonomi tidak pernah netral dari dimensi sosial dan politik. Keputusan tersebut selalu dipengaruhi oleh kekuasaan, norma, dan nilai yang tertanam dalam institusi masyarakat.
Dalam konteks ekonomi Islam, institusi seperti Zakah, Wakaf, dan Hisbah (pengawasan pasar) bukan hanya mekanisme ekonomi pasif, melainkan instrumen politik dan sosial aktif yang bertujuan mewujudkan falāh (kesejahteraan sosial) dan keadilan distributif.
Institusi inilah yang membedakan ekonomi syariah dari pandangan neoklasik yang mengkultuskan pasar bebas.
---
Tiga Dimensi Kritik terhadap Arus Utama Ekonomi Modern
Kritik terhadap ekonomi arus utama dapat dirangkum ke dalam tiga dimensi utama:
1. Epistemologis – Realitas ekonomi direduksi menjadi fenomena kuantitatif, mengabaikan moralitas, spiritualitas, dan tujuan hidup manusia.
2. Institusional – Dominasi paradigma neoliberal dalam lembaga keuangan global meminggirkan prinsip keadilan sosial yang diajarkan Islam.
3. Metodologis – Ketergantungan pada model matematis mengabaikan konteks sosial-politik dan sejarah masyarakat Muslim yang beragam.
Ekonomi syariah hadir untuk mengoreksi bias-bias tersebut dengan menempatkan prinsip tawhid sebagai dasar epistemik utama, memastikan setiap aktivitas ekonomi berlandaskan moral dan keadilan sosial (adl).
---
Ekonomi Politik Syariah: Tata Kelola Berbasis Nilai
Pendekatan ini menekankan pentingnya struktur ekonomi berbasis institusi etis, seperti:
Baitul Mal – Sistem redistribusi kekayaan yang terstruktur.
Wakaf Produktif – Lembaga investasi sosial dan pengembangan aset umat.
Hisbah – Mekanisme pengawasan moralitas dan etika pasar.
Levent & Afacan (2025) menyebutkan bahwa kekuatan sejati ekonomi Islam bukan pada peniruan mekanisme pasar bebas, melainkan pada governance of morality — tata kelola berbasis nilai.
Paradigma ini berlawanan dengan sistem kapitalistik yang memisahkan etika dari efisiensi ekonomi.
---
Jebakan Mainstreamisasi Internal Ekonomi Syariah
Ironisnya, sebagian praktik ekonomi Islam justru terjebak dalam meniru model konvensional, seperti penggunaan instrumen yang menyerupai bunga terselubung dalam profit sharing atau replikasi struktur bank konvensional.
Ekonomi syariah seharusnya tidak berhenti pada penghapusan riba, tetapi bertransformasi menjadi ekonomi berkeadilan yang menegakkan adl dan maslahah. Jika tidak, maka ekonomi syariah hanya menjadi versi hibrida yang kehilangan substansi etisnya.
---
Kesimpulan
Ekonomi Politik Kelembagaan Syariah menolak reduksi ekonomi menjadi sekadar kalkulasi pasar. Paradigma ini menuntut rekonstruksi epistemologis menyeluruh agar seluruh aktivitas ekonomi berpijak pada nilai tawhid, adl, dan maslahah.
Kritik terhadap arus utama bukan sekadar wacana teoretis, melainkan agenda praksis untuk mengarahkan sistem ekonomi — baik di Indonesia maupun global — menuju kesejahteraan sosial dan keberlanjutan yang berlandaskan nilai-nilai ilahiah universal.
Penulis: Navis Adnan


Comments (0)
There are no comments yet